Melacak Jejak Kapiten Souw Beng Kong

August 21, 2024 1:10 pm

Souw Beng Kong adalah satu di antara orang yang berperan besar dalam membangun Batavia hingga menjadi Jakarta sekarang yang kini genap berusia 497 tahun.

Walau banyak jejak pembangunan Jakarta yang ditinggalkan hilang, tetapi masih banyak yang bisa kita nikmati hingga saat ini.

Kawasan Kota Tua, dari Taman Fatahillah, Pasar Ikan, Kali Besar hingga ke Roa Malaka, merupakan bagian dari pembangunan dalam satu dekade pertama bersama VOC.

Demikian pula, lahan pertanian ke Balaraja, Tangerang, Banten. Kawasan tersebut dulu dikenal dengan istilah ommelanden (daerah pinggiran).

Kawasan yang kini menjadi area perindustrian itu, dulunya merupakan hamparan ladang tebu yang digunakan VOC untuk meningkatkan pemasukan demi membangun fondasi kekuatan saat itu.

Jika kita menyusuri Jl. Jayakarta, Mangga Dua, Jakarta Barat, hanya ada satu papan petunjuk. Yakni, arah menuju satu gang tempat makam kuno pembesar Tionghoa, Kapiten Souw Beng Kong.

Petunjuk di persimpangan Jalan Sasiun Kota dan Jalan Jayakarta, tak cukup bagi kita untuk menemukan tempat persisnya.

Souw Beng Kong adalah kapiten pertama Tionghoa di Batavia yang ditunjuk Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen pada 1619.

Gelar Kapitan (kapitein) merupakan gelar yang diberikan VOC untuk pemimpin golongan di Batavia. Setelah wafat pada 1644, keberadaan makam Souw Beng Kong diketahui berimpitan dengan kepadatan warga di Jalan Jayakarta, Mangga Dua, Jakarta Barat.

Makam Souw Beng Kong berada di Gang Taruna. Sebelum makam selesai dipugar pada akhir tahun 2008, warga setempat tidak ada yang tahu siapa yang terbaring di pemakaman itu. Hingga tahun 2000, makam Souw Beng Kong menjadi bagian dari sepetak kos-kosan

Ironisnya, batu nisan di makam Kapten Souw Beng Kong bersisian dengan septick tank warga setempat.

Bahkan awal tahun 2013, Ketua RT 003 RW07 Mangga Dua Ratna Sari juga mengatakan, banyak masyarakat setempat yang belum tahu siapa Souweng Kong.

Orang-orang etnis Tionghoa yang tinggal di daerah itu pun tak mengetahuinya. Padahal, usia makam itu sudah 370 tahun. Berarti sekarang (2024), sudah berusia 381 tahun.

Gang Taruna memang didominasi warga keturunan Tionghoa. Dalam catatan kantor Kelurahan Mangga Dua pada 2013, warga keturunan Tionghoa mencapai 90 persen dari total 800 kepala keluarga (KK).

Jumlah itu, kini mungkin sudah mencapai kurang lebih 1.000 KK. Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Mangga Dua Partahian Sinaga pernah menjelaskan, kebanyak dari warga etnis Tionghoa bekerja sebagai pegawai toko obat, tekstil, atau jual daging babi.

Berperan Besar

Makam tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Yayasan Souw Beng Kong (YSBK) yang resmi didirikan pada 26 Januari 2008. Namun, jauh sebelum yayasan itu ada, beberapa aktivis Tionghoa dan pemerhati cagar budaya merencanakan pemugaran.

Pada 2002, proyek pemugaran mulai diprakarsai Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) dan Yayasan Marga Souw yang berpusat di Taman Grisenda, Pantai Indah Kapuk (PIK).

Menurut mereka, penting untuk melestarikan dan menjaga makam ini sebagai warisan budaya Tionghoa. “Karena Souw Beng Kong adalah orang yang berperan besar dalam membangun Batavia hingga menjadi Jakarta saat ini,” kata Ketua Yayayasan Marga Souw Surya Susanto.

Proyek pemugaran baru benar-benar terealisasi mulai 23 Maret 2008 hingga selesai pada 10 April 2008. Bongpay yang dulu menjadi jamban dan septic tank, kini kembali seperti jamban sebagaimana mestinya.

“Pemugaran tersebut menghabiskan dana sebesar Rp 1,25 miliar,” kata Penasehat Hukum YSBK Stefanus Wicaksono.

Dikemukakan, dana sebesar itu tidak terlepas dari pembebasan 250 meter persegi tanah yang sebelumnya sudah dikuasai warga. Hingga kini, kawasan makam Souw Beng Kong dibuat menjadi taman budaya Makam Tionghoa.

YSBK juga mengembalikan lahan yang sesak menjadi lapang. Total tanah yang dibebaskan mencapai 1,6 hektare dengan pembebasan lahan yang membutuhkan biaya mencapai Rp 20 miliar.

Makam yang Tersuruk

Posisinya yang berada di kawasan Kota Tua, membuat lokasi Makam Kapiten Souw Beng Kong sangat stategis. Ada dua alternatif transportasi yang dapat digunakan ke sana.

Commuterline, biasanya menjadi transportasi favorit pengunjung dari Depok atau pun dari Bogor. Dari Depok atau Bogor, jika naik commuterline, tinggal duduk hingga pemberhentian terakhir di Stasiun Jayakarta atau Stasiun Jakarta Kota, dahulu populer dengan sebutan Stasiun Beos.

Apalagi di era sekarang, banyak alternatif lain yang bisa ditempuh. Bisa menggunakan Transjakarta atau JakLingko dengan biaya yang relatif terjangkau semua lapisan masyarakat dan perjalanan terasa lebih berwarna.

Terutama pengunjung dari lima wilayah Jakarta dan sekitarnya. Sebab, sebelum sampai di tempat tujuan, pengunjung bisa melewati berbagai gedung bersejarah, seoperi Monas, Museum Gajah, Istana Negara, Jl. Gajah Mada, HayamWuruk Untuk menuju makam Souw Beng Kong, pengunjung bisa turun di Shelter Jayakarta.

Untuk menyisir Jl. Jayakarta, bisa menggunakan Jaklingko atau ojek. Jika naik ojek cukup sebut Gg Teruna yang kini juga dikenal sebagai Gang Souw Beng Kong.

Kapiten dari Tong An

Souw Beng Kong lahir pada tahun 1580 pada Dinasti Ming di distrik Tong An, Provinsi Hok Kian, Tingkok, China Selatan. Dinasti Ming adalah dinasti terakhir yang dikuasai suku Han.

Artinya, Souw Beng Kong bukanlah pemuda Tionghoa dengan model tou-ciang atau model kuncir. Sebab, model rambut itu baru diberlakukan terhadap seluruh pemuda Tionghoa pada era Suku Mancu yang membangun Dinasti Qing pada 1646-1991.

Pengamat Sejarah Jakarta, Alwi Shahab menyebutkan, Souw Beng Kong adalah pemuda Tionghoa yang ulet dan piawai dalam urusan berniaga.

Melintasi derasnya gelombang laut selatan, perahu Jung Tiongkok yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan Banten pada 1676.

Kepiawaiannya dalam manajemen dan menguasai para pedagang Tionghoa, membuatnya menjadi penanggung jawab ekspor impor rempah Banten di bawah Kesultanan Banten saat itu.

Alwi Shahab pernah mengutarakan, Souw Beng Kong bukan sembarang pemuda. Ia juga terkenal sebagai ahli pertanian. Hubungannya dengan Belanda terjalin saat Gubernur Jenderal VOC Pieter Both mengutus Jan Pieterzoon Coen membuka wilayah dagang ke tanah Jayakarta pada 1611.

Jan Pieterzoon Coen resmi diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pada 1619, seiring dengan keberhasilan VOC menaklukkan wilayah yang dahulunya dipegang Pangeran Jayakarta.

Souw Beng Kong dirayu untuk memindahkan seluruh penduduk Tionghoa dari Banten ke Batavia. Souw Beng Kong menerima tawaran tersebut, lantas membawa setidaknya 300 orang Tionghoa yang semula berniaga di Banten.

Awalnya, Sou Beng Kong menolak tawaran itu karena sangat dibutuhkan oleh Banten. Souw Beng Kong akhirnya menerima tawaran itu, lantaran ada beberapa persoalan antara Kerajaan Banten dan komunitas Tionghoa di sana. Di Banten saat itu juga tengah terjadi paceklik panjang.

Pada 11 Oktober 1619, Souw Beng Kong diangkat pertama kalinya sebagai pemimpin kelompok China karena mampu membawa dan mengatur etnis Tionghoa di Batavia.

Di bawah komando Souw Beng Kong, bandar dagang Tionghoa yang berpusat di Loji Selatan (sekarang kawasan Kota Intan), belakang galangan VOC, maju pesat.

Souw Beng Kong menjadi Kapiten Tionghoa (Kapiten der Chinezen) pertama di seluruh jajahan Hindia Belanda. Pasca Kapiten China, barulah beberapa gelar kapiten lain diberikan untuk pemimpin kelompok nonpribumi lainnya.

Alwi Shahab menegaskan, gelar ‘kapiten’ merupakan adopsi dari era Portugis saat sebelumnya menjajah Indonesia.

Souw Beng Kong juga menjadi kapiten pertama untuk golongan Tioghoa di sana. Jabatan itu disandang dalam enam periode kegubernuran VOC (JPCoen, Pieter de Caroenter, JP Coen, Jacques Speck –Hendrik Brouwer, dan Antonio van Dieman).

Beng Kong melepas jabatannya pun dengan permintaannya sendiri. Pada 3 Juli 1636, Souw Beng Kong mengundurkan diri dan VOC lantas menunjuk Kapiten Lim Lak Tjo sebagai penggantinya.

Sementara, seketaris Souw Beng Kong, Gouw Tjai naik jabatan menggantikan Beng Kong, sesuai dengan keputusan dari VOC.

Semestinya, sekretaris Souw Beng Kong, Gouw Tjai yang naik, tetapi itu semua putusan VOC karena Gouw Tjai ternyata beragama Islam.

Jejak peninggalannya dapat dilihat dengan didirikannya masjid yang kini masih berdiri di Angke. Masjid itu bernama Angke Al-Anwar. Persisnya di Jl. Pangeran Tubagus Angke, Gang Masjid I RT 001 RW 05 Kelurahan Angke, Tambora, Jakarta Barat.

Kapiten Souw Beng Kong wafat pada 8 Aril 1644 pada usia 50 tahun. Peneliti Arsip Naional Republik Indonesia Mona Lohanda meyakini Souw Beng Kong meninggal dalam kondisi yang wajar karena usia tua.

Ia dimakamkan sebulan kemudian di tanah perkebunannya yang sekarang bernama Gang Taruna, Mangga Dua, Jakarta Barat. Urbanisasi besar-besaran pasca kemerdekaan membuat lahan perkebunan Souw Beng Kong tergerus dan menjadi lahan permukiman. (DDJP/stw/df)