Hari Raya Iduladha atau Idul Kurban yang dirayakan umat Islam setiap 10 Dzulhijah berupa ritus penyembelihan hewan kurban hendaknya tidak sebatas dimaknai rutinitas tahunan ritual penyembelihan hewan kurban, pembagian daging, dan pesta daging sepuasnya.
Tetapi perlu penghayatan dan pemaknaan kontektual antarzaman, sehingga umat tidak hanya terjebak berlomba peningkatan kuantitas kurban yang cenderung meningkat signifikan setiap tahunnya tanpa diiringi peningkatan kualitas mental pengorbanan umat.
Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan Panji Virgianto Sedyo Setiawan menegaskan, Iduladha merupakan simbol kemenangan besar. Kemenangan perjuangan batin seorang ayah dan anak dalam meraih cinta kepada Allah SWT.
Perintah berkurban yang bermula dari Nabi Ibrahim AS atas putranya, Ismail AS itu merupakan manifestasi ketaatan yang total. Bagi umat Nabi Muhammad SAW, berkurban, baik berupa sapi, kambing atau unta, di Iduladha dan hari-hari tasyrik pada tanggal 11-12 dan 13 Dzulhijah itu sering juga bertarung dengan nafsu.
Memang, nafsu tidak berarti harus dibasmi dari dalam tubuh atau kehidupan seseorang anak manusia. Dalam Iduladha, banyak sekali mendapatkan pelajaran. Bukan hanya persoalan ibadah kepada Allah SWT semata.
Awalnya, memang sebuah perintah Allah SWT yang dengan keikhlasan luar biasa Nabi Ibrahim AS untuk memenuhinya. Sebuah perintah yang barangkali menurut ukuran manusia sangatlah naif.
“Tetapi, di situlah justru Allah tengah menguji seberapa besar derajat ketakwaan dan keikhlasan seorang Ibrahim. Hanya Allah-lah yang bisa mengukur tingkat keikhlasan Ibrahim. Karena itu, hanya Dia yang berhak untuk menilainya. Sungguh, sebuah ajaran yang mahadahsyat di mana ketakwaan itu selalu berlandaskan keikhlasan,” urai Panji.
Tanpa keikhlasan, tambah dia, maka ketakwaan yang muncul barangkali adalah semu dan tidak akan menyentuh esensinya sama sekali. Ibadah yang hanya memenuhi syariat tanpa beralaskan keikhlasan hanya akan menghasilkan ritual seolah-olah.
Artinya, seolah-olah ibadah. Seolah-olah berkurban. Tetapi sebenarnya hanya ingin memamerkan sesuatu yang sebenarnya tidak disukai Allah. Maka, ibadah yang seperti itu bukan keikhlasan menjalankan perintah Allah, melainkan hanya memenuhi keinginan dari nafsunya untuk memamerkan kepada sesamanya.
“Ibadah dengan niat pamer tentu saja memiliki nilai yang rendah di hadapan Allah SWT. Bahkan mungkin tidak mendapatkan nilai sama sekali,” imbuh Panji.
Sebagai Riya’dhah
Lebih lanjut, Panji mengemukakan, ritual Iduladha tidak dilakukan semata-mata sebagaai sebuah rutinitas yang kosong tanpa nilai. Praktik ibadah haji, Salat Iduladha, dana menyembelih binatang ternak tidak hanya dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun.
Hal itu karena dalam Islam, ritual dimaksudkan sebagai riya’dhah ( latihan ) yang akan menghasilkan pengaruh bagi kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat.
“Idul Adha tidak hanya dirayakan dan diperaingati, tetapi diharaapkan agar kita dapat menangkap makna yang lebih untuk memperkokoh aktivitas keberagamaan kita. Setidaknya, ada adua aspek yang dapat dimaknai dalam Iduladha. Pertama, aspek spiritual. Dalam hal ini, Idul Adha berfungsi memperkokoh tauhid. Mempertebal iman, dan meningkatkan takwa kita kepada Allah SWT,” tutur Panji.
Firman Allah SWT: “Darah dan daging kurban sama sekali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan kamulah yang dapat menggapainya”. (QS al-Hajj (22):37)
Setelah melakukan haji perpisahan, tambah Panji, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa tak ada lagi perbedaan dan keutamaan antara mereka yang berbangsa Arab atau non-Arab. Tak ada lagi perbedaan antara mereka yang berkulit hitam dan mereka yang berkulit putih.
Semua umat manusia setara dan sama. Tak pandang ras dan suku. Hanyalah keimanan dan ketakwaan yang membedakan derajat manusia. Di sinilah semangat ketauhidan Tuhan yang tidak lagi mendiskriminasi ras, suku, atau keyakinan manusia satu dengan manusia lainnya.
“Di dalam nilai ketaauhidan itu, terkandung pesan pembebasan manusia dari penindasan manusia lainnya atas nama apa pun. Kedua, aspek sosial. Dalam hal ini, Idul Adha berfungsi meningkatkan solidaritas. Mentradisikan diri untuk berbagi dan memupuk rasa tolong menolong. Rasulullah SAW sendiri melarang kaum Mukmin mendekati orang-orang yang memiliki kelebihan rezeki, tetapi tidak menunaikan perintah kurban. Dalam konteks itu, Nabi Muhammad bermaksud mendidik umatnya agar memiliki kepekaan dan solidaritas tinggi terhadap sesama. Islam pun mengajarkan Idul Kurban sebagai media untuk mengejawantahkan sikap kepekaan sosial,” tegasa Panji. (DDJP/stw/rul)