Maen Pukulan ala Betawi

August 5, 2024 12:03 pm

Maen pukulan lahir sebagai salah satu hasil produk akulturasi dan asimilasi ialah unsur kebudayaan ilmu bela diri pencak silat. Busana si pemain punya ciri khas leher bulat dan berlengan panjang. Pada bagian badan, dibuat longgar. Celananya, biasanya dibuat menggantung agar terlihat lebih simpel. Itulah setelan baju pangsi yang identik dengan orang Betawi.

Baju pangsi, dulu biasa dipakai para jagoan atau jawara, jago berkelahi. Dari sisi warna, biasanya orang yang jago silat serta pemuka agama memakai warna cerah, krem atau putih, sedangkan warna hitam biasanya dipakai para jagoan silat.

Bukan rahasia lagi, Tanah Betawi adalah surga silat. Hampir separuh dari sekitar 600.000 aliran atau perguruan silat yang ada di Indonesia berasal dari Betawi (Jakarta).

Dalam catatan sejarah persilatan di Betawi, ada sekitar 317 aliran maen pukulan di tanah Betawi yang merupakan pengembangan dari sekitar 100 sampai 200 pecahan aliran dari empat aliran inti. Jumlah 317 aliran tersebut merupakan data yang dimiliki Persatuan Pencak Silat (PPS) Putra Betawi.

Betawi memang kaya akan silat, atau dalam dialek lokal disebut maen pukulan. Ada ungkapan; “Tiap utan ade macannye, tiap kampung ade maenannye.” (Setiap hutan ada macannya, setiap kampung ada mainannya). Karena itu, hampir di setiap kampung dapat ditemukan maen pukulan. Yang unik, maen pukulan itu berbeda antara satu sama lainnya. Lalu, dari manakah asal muasal silat di Betawi ? Pangsi juga ternyata bisa menjadi penanda asal mula silat Betawi.

Dibawa Kaum Imigran

Berbicara tentang akar maen pukulan, GJ Nawi dalam buku Maen Pukulan : Pencak Silat Khas Betawi mengelompokkan aliran maen pukulan Betawi menjadi dua kategori. Pertama,, akar aliran luar ( aliran dari luar Nusantara), dan kedua akar aliran dalam (dalam Nusantara)/aliran luar yang banyak memengaruhi maen pukulan Betawi ialah ilmu bela diri dari kaum imigran Tionghoa. Hingga akhirnya menjadi aliran maen pukulan Betawi yang berdiri dan terlepas apakah aliran ilmu bela diri dibawa para imigran itu.

Pangsi ditengarai berawal dari cara berpakaian orang Tionghoa, baju tui khim dan celana phang shi, serta penggunaan kain ciu kin yang kerap dikenakan di leher para jago kuntao peranakan Tionghoa.

Pada masyarakat Tionghoa peranakan di Kampung China Benteng Tangerang, tradisi mengalungkan ciu kin atau cukin di leher sebagai penanda yang bersangkutan memiliki kemampuan maen pukulan atau terkait dengan dunia maen pukulan, seperti para jagoan dan centeng.

Menurut GJ Nawi, tradisi berpakaian jago kuntao di Betawi bermetamorfosis menjadi baju tikim, celana pangsi, dan sarung yang dikalungkan di pundak. Seiring dengan perjalanan waktu, hal itu berkembang dan memiliki makna filosofi yang disesuaikan dengan adat istiadat orang Betawi umumnya dan kalangan maen pukulan khususnya sebagai dua simbol identitas Betawi, yaitu salat dan silat.

Para imigran Tionghoa dari Tiongkok Selatan. Mereka bermigrasi ke Betawi setelah Dinasti Manchu berkuasa di Tiongkok pada 1644. Mereka mempunyai ciri khas tersendiri. Antara lain, rambut bagian depan dicukur dan memakai taucang. Mereka membawa kebudayaan negeri asalnya. Salah satunya ilmu bela diri ke Betawi dan mengembangkannya.

Orang-orang di daratan Tiongkok menyebut ilmu bela diri dengan yu su yang artinya ilmu kelemasan, tau wushu yang artinya seni perkasa atau seni perang. Ketika orang Tiongkok Selatan mengembangkannya di Betawi, oleh orang Tionghoa peranakan itu disebut kuntao. Secara etimologi, kuntao berasal dari dialek Hokian, yaitu kun thau yang secara harfiah berarti kepalan tangan atau tinju. Atau secara bebas memiliki pengertian sebagai seni bertarung.

Ciri Khas

Pengaruh ilmu bela diri imigran Tionghoa juga dapat dilihat dari karakter khas gerakannya yang cepat, kuat, dan energik dengan variasi metode pukulan dan suara hentakan menyertai gerakan-gerakannya.

Dominasi tangan sebagai karakter serangan dan pertahanan dalam maen pukulan Betawi menandakan adanya pengaruh ilmu bela diri yang dibawa orang-orang selain Sungai Yantse (Tiongkok Selatan), yang dikategorikan sebagai aliran nan chuan atau ilmu bela diri aliran selatan.

Pada masa itu, mulai muncul entitas ilmu bela diri penduduk yang baru terbentuk. Sebagian besar masyarakat menyebutnya dengan istilah lokal, yakni maen pukulan. Berangsur-angsur pula, muncul nama-nama aliran maupun gaya maen pukulan di Batavia, disusul kemunculan sosok pendekar, jawara, jago, dan jagoan yang piawai ilmu bela diri. Pada umumnya, nama aliran diambil dari nama tempat asal maen pukulan itu.

Sebelum dengan budaya Tionghoa, dapat pula ditemui akulturasi aliran bela diri di Nusantara. Banyak bela diri dari berbagai daerah yang turut menyuburkan maen pukulan Betawi.

Antara lain dari tatar Sunda, Banten, dan Sulawesi. Menilik sejarahnya, hunian awal masyarakat Betawi di Kalapa, sebelum Jayakarta, telah berfungsi sebagai pelabuhan laut penting pada masa Kerajaan Tarumanagara pada abad ke 4-7 Masehi. Sejak saat itu pula, beragam etnik berbaur di tanah Betawi.

Ilmu bela diri etnik Sunda menjadi dasar bagi aliran-aliran maen pukulan. Ruang lingkup etnik Betawi secara demografi berada di jazirah Jawa bagian barat. Maen pukulan Betawi yang banyak berakulturasi ialah yang berada di pinggiran yang berdekatan dengan wilayah kebudayaan Sunda dan Banten. (DDJP/stw)