Logat Melayu yang Ditinggalkan

August 21, 2025 12:03 pm

Produser film animasi dari Malaysia menyebut, 60 persen penyuka Film Oemar dan Hana di Youtube berasal dari Indonesia.

Sebanyak 70 persen di antaranya tak setuju jika film itu disulih suara ke dalam Bahasa Indonesia.

“Mereka menginginkan tetap dalam Bahasa Malaysia, karena logatnya lucu,” ujar Fadillah A Rachman, sang produser.

Bahasa yang digunakan dalam film animasi tersebut, Fadillah tak menyebut Bahasa Melayu. Melainkan sebutan Bahasa Malaysia.

Bahasa Malaysia juga berasal dari Bahasa Melayu. Begitu pula dengan Bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa Melayu pasar.

Namun ketika menjadi Bahasa Indonesia, logat Melayu tak ikut dipakai. Kecuali oleh sebagian masyarakat di Sumatera, masih menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa ibu.

Pada koran-koran Melayu-Cina yang terbit pada tahun 1920-1930-an di Batavia, logat Melayu masih sering dipakai.

Penggunaannya benar-benar berangkat dari Melayu pasar. Hal itu membuat koran-koran Melayu-Cina dinilai sebagai menyajikan bahasa yang tak ada aturannya.

Sejarawan Alwi Shihab dalam sebuah diskusi di Taman Ismail Marzuki (TIM) tahun 1970 mengatakan, semula tidak mengira akan muncul penilaian dari kalangan orang-orang Belanda terhadap Bahasa Melayu.

Orang-orang Belanda yang hendak belajar Bahasa Melayu tak mendapatkan pelajaran dari koran-koran Melayu-Cina.

“Ternyata pada akhir dekade 1930-an, penilaian serupa juga muncul dari orang Indonesia. Yaitu Soedarjo Tjokrosisworo, wartawan yang mendirikan Persatoean Djoernalis Indonesia (Perdi) pada tahun 1933,” ungkap Alwi Shihab.

Kemudian pada tahun 1938, Soedarjo Tjokrosisworo menjadi ketua Panitia Kongres Bahasa Indonesia Pertama.

Setelah Sumpah Pemuda, secara otomatis Bahasa Melayu yang digunakan oleh koran-koran diklaim sebagai Bahasa Indonesia. Termasuk Bahasa Melayu yang dipakai oleh koran-koran Melayu-Cina.

Terpengaruh Logat Melayu

MC Ricklefs mencatat, urai Alwi Shahab, baru ada 40 koran Berbahasa Melayu pada tahun 1918. Namun telah meningkat jadi 200 koran pada tahun 1925 dan 400 koran pada tahun 1928.

Baik harian, mingguan, maupun bulanan. Orang-orang Belanda belajar Bahasa Melayu dari koran-koran Melayu–Cina.

Sebab, mereka tak membaca koran-koran Berbahasa Melayu yang dikelola kalangan pribumi nasionalis.

Orang-orang Belanda, terutama yang menjadi pegawai negeri, juga terpengaruh oleh Bahasa Melayu pasar. Mereka latah menggunakan seperti ‘ya’ sebagai penurtup kalimat yang terpengaruh oleh logat Melayu-Cina.

Hal itu terlihat jelas di kalangan perempuan. Seperti kalimat semacam yang dicatat oleh HG Koster:

“Babu saya ya, merupakan gadis terbaik ya, tapi bodoh ya, dia membuatku gila ya”

Kata ‘ya’, merupakan jawaban setuju juga digunakan sebagai penutup kalimat penyangkalan. Seperti: “Aku tidak melakukannya, ‘ya’.

Jadi, tak melulu untuk menyatakan persetujuan, seperti: “Indonesia negara yang indah ya”.

Itulah sebabnya muncul kritik tajam terhadap Bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa Melayu pasar.

Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu kacau. Namun, Sutan Takdir Alisyahbana, tokoh Pujangga Baru, menjawabnya dengan enteng. “Kacau, tapi mengasyikkan”.

Penggunaan Bahasa Indonesia terus dikembangkan, kendati jalan tertatih-tatih. Di forum-forum resmi digunakan Bahasa Indonesia. Tapi dalam keseharian, tetap mengguakan Bahasa Belanda.

Di saat itu, meski Bahasa Indonesia sudah disumpahkan sebagai bahasa persatuan, namun dalam keseharian masih banyak orang menggunakan Bahasa Belanda.

Bahkan, koran-koran ramai membahas banyak orang yang sepulang dari Kongres Bahasa Indonesia I menegaskan pengunaan Bahasa Indonesia, kembali menggunakan Bahasa Belanda.

Pada awal-awal penggunaan Bahasa Indonesia, struktur kalimat Belanda pun masih berpengaruh. Pengaruh tata Bahasa Belanda pun terbawa dalam Bahasa Indonesia.

Seperti kalimat ‘Itu buku saya punya’. Kalimat itu biasa dipakai karena pengaruh Bahasa Belanda.

Bahkan, Mohammmad Hoesni Thamrin harus meyusun pidatonya dalam Bahasa Belanda telebih dahulu. Kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Pidato terjemahan itulah yang ia sampaikan dalam Sidang Volksraad dan Gemeeteraad, ketika memperjuangkan penggunaan Bahasa Indonesia.

Maka, ketika Bahasa Indonesia digunakan di Volksraad dan Geementeraad van Batavia, orang-orang Belanda mmenilainya semata sebagai demonstrasi dari kalangan pribumi nasionalis.

Anggapan itu muncul lantaran di luar persidangan, mereka kembali menggunakan Bahasa Belanda dalam percakapan sehari-hari. (stw/df)