Literasi, Solusi Atasi Masalah hingga Tentukan Arah Hidup

August 30, 2024 12:05 pm

Menulis dan membaca merupakan bagian dalam membangun budaya literasi. Hal ini tidak terlepas dari kehidupan masyarakat sehari-hari.

Seperti dalam urusan jual beli di warung kopi. Setiap pembayaran secara tunai, pembeli dan penjual akan memastikan besaran nilai yang tertera pada lembar kertas atau koin yang disebut uang.

Proses transaksi terwujud dengan cara pembeli melihat atau membaca terlebih dahulu besaran mata uang yang akan diserahkan kepada pembeli. Hampir sebagian besar masyarakat praktik membaca dengan cara sederhana itu.

Begitu pula menulis. Seperti seorang pedagang yang menuliskan bukti pembelian berupa kuitansi atau yang sering disebut bon (surat kecil berisi keterangan pengambilan barang, peminjaman uang, dan sebagainya).

Artinya, budaya literasi lewat membaca dan menulis secara sederhana telah dilakukan oleh masyarakat. Seperti transaksi jual beli di atas, bisa dikatakan telah menjadi solusi dalam menyelesaikan masalah di antara beberapa pihak.

Seiring dengan kemajuan peradaban manusia dan perkembangan pola pikir manusia, membaca dan menulis tidak hanya sebagai aktivitas sederhana.

Berbagai aspek kehidupan, menuntut manusia untuk bisa membaca dan menulis yang lebih berkualitas. Kemampuan literasi akan terus berkembang dalam memenuhi kebutuhan sesuai perkembangan zaman.

Literasi termasuk di dalamnya adalah kemampuan menganalisa suatu masalah. Sangat mungkin, literasi menjadi alat kebutuhan mutlak yang tak terpisahkan dalam aspek kehidupan manusia.

Orang bijak berkata, ‘bicara tanpa baca, hasilnya kosong’ atau b-b = 0. Ada pula yang berkata, ‘berbuat tanpa menulis/mencatat, hanya bicara tanpa bukti’.

Terdapat hal menarik dengan budaya literasi terkait kegiatan menulis dan membaca. Satu di antaranya pernah diungkapkan oleh Guru Gembul dalam sebuah podcast bersama Dinas Perpusatakaan dan Arsip DKI Jakarta pada 30 Juli 2023.

Seperti diketahui, Guru Gembul merupakan Edukator dan Konten Kreator. Dalam kesempatan itu, ia mengungkapkan pendapatnya tentang alasan rendahnya minat membaca dan menulis di Indonesia.

Podcast yang menghadirkan pula Kepala Dispusip DKI Jakarta Firmansyah dan Duta Baca DKI Jakarta Hestia Istiviani selaku moderator, Guru Gembul mengungkap bahwa Indonesia bukan negara atau bangsa dengan tradisi membaca dan menulis dengan baik.

“Kita bangsa pencerita, bukan bangsa penulis dan pembaca. Secara historis, kita itu bangsa yang selalu berhasil. Karena selalu berhasil makanya kita jarang menulis. Bangsa yang suka menulis itu adalah bangsa yang sering gagal, karena itulah mereka terpacu untuk menulis,” ujar Guru Gembul.

Ia menganalogikan sekelompok orang di suatu negeri yang kerap gagal dalam berburu hewan. Perburuan itu demi memenuhi kebutuhan hidup sekelompok tersebut.

“Ada sekelompok orang yang ingin makan daging rusa. Berburu sekali gagal, berburu dua kali gagal, berkali-kali gagal. Sampai ke sepuluh (kali) mereka berhasil,” imbuh Guru Gembul.

Keberhasilan dari eksperimen teknik perburuan itu, dilanjutkan dengan membuat sebuah catatan. Tujuannya, generasi berikutnya tidak perlu berusah payah melakukan uji coba.

“Generasi selanjutnya tidak perlu mengulang. Jadi budaya menulis itu dari bangsa-bangsa yang sering gagal,” ungkap Guru Gembul.

Berbeda dengan kondisi di Indonesia. Untuk mendapatkan seekor rusa, tidak perlu menggunakan teknik rumit. Apalagi banyak kondisi hutan yang dipenuhi semak belukar. Akibatnya, rusa sulit berlari kencang. Hingga akhirnya, pemburu secara mudah mendapatkan rusa.

“Jadi gampang sekali (menangkap rusa). (Bahkan) pengen pisang ada, pengen ikan ada. Jadi bangsa kita jadi bangsa penutur akhirnya, bukan bangsa penulis dan pembaca. Setelah itu, Indonesia dinobatkan sebagai bangsa (yang) penuturannya paling kejam di media sosial,” kelakar Guru Gembul.

Karena itu, menurut dia, perlu cara agar Bangsa Indonesia sebagai pembaca dan penulis. Apalagi sudah melalui banyak masalah dan menemukan kegagalan.

“Kenapa belum bisa baca tulis? Masalahnya, kebanyakan dari kita tidak menyadari bahwa masalah itu adalah sebuah masalah,” sindir Guru Gembul.

Menurut Guru Gembul, butuh solusi untuk mengatasi masalah. Solusi itu hanya bisa didapat dengan mencari ilmu pengetahuan terkait masalah. “Lewat membaca buku, pengetahuan itu didapatkan untuk mengatasi masalah.” tutur dia.

Terkait dengan membangun budaya literasi, Ketua Umum Yayasan Indonesia Membaca Wien Muldian angkat bicara pada Koran Republika terbitan Ahad, 18 Desember 2005, halaman 20, berjudul Membangun Budaya Literasi.

Forum Indonesia Membaca dimotori oleh kalangan generasi muda dengan latar belakang keprihatinan terhadap kondisi minat baca masyarakat yang mulai tumbuh, namun tidak didukung akses dan fasilitas memadai.

Menurut Wien, FIM dirintis dan dibangun untuk memajukan budaya baca-tulis di Indonesia. Gerakan FIM bersifat kultural edukatif itu melibakan semua elemen masyarakat.

“Kita mencoba melalui kampanye, memperluas akses, fasilitas, dan ruang partisipasi yang luas kepada warga di seluruh Indonesia dalam penguatan budaya baca,” tutur aktivis dunia perbukuan ini.

FIM mencoba memfasilitasi keinginan masyarakat itu dengan menurunkan relawannya untuk membimbing dan melatih masyarakat seputar cara mengelola taman bacaan.

Yayasan Indonesia Membaca juga merangkul para pengusaha dan industri untuk penyediaan buku bagi masyarakat.

Selain itu, FIM juga mendistribusikan buku kepada organisasi lain yang peduli dengan Gerakan Indonesia Membaca.

Diharapkan, penyediaan akses dan fasilitas buku dapat membantu masyarakat untuk menentukan pilihan hidup.

“Gerakan ini dibangun bukan hanya sebatas meningkatkan minat baca, tapi memberikan mereka wawasan,” tutur Wien.

Bila melihat kondisi ke belakang lagi, membangun budaya literasi juga telah dilakukan para kalangan penyair. Seperti Chairil Anwar yang sudah menuliskan puisi sejak remaja.

Lewat Koran Suara Karya terbitan Sabtu, 27 April 1985, halaman 5, berjudul ‘Chairil Anwar Menulis Puisi Ketika Remaja’, Asaroeddin MZ asal Lampung mengulasnya.

Di dalam tulisannya, terdapat salah satu bait sajak ‘Diponegoro’ karangan Chairil Anwar, yakni “Sekali berarti sudah itu mati”.

Chairil Anwar termasuk seorang penyair pelopor angkatan 1945. Lahir di Medan, 26 Juni 1922. Ayahnya bernama Tulus, seorang pengusaha yang mempunyai kedudukan terpandang di masyarakat. Masa kanak-kanak Chairil dinikmatinya dengan penuh canda dan ceria.

Sasaroeddin juga menuliskan perihal Chairil Anwar yang dimanja oleh kedua orangtuanya karena paras elok dan cerdas.

Bahkan, Chairil Anwar dikenal sebagai kutu buku. Maka tak heran bila Chairil tenggelam dalam keasyikan membaca hingga lupa segala-galanya.

Hampir setiap orang pintar didekati Chairil Anwar. Termasuk berdiskusi dan menimba ilmunya. Di antaranya dari Sutan Takdir (Perdana Menteri I RI) yang juga pamannya.

Ia dipinjami buku-buku bermutu dan diperkenalkan dengan tokoh-tokoh kemerdekaan lainnya. Sehingga wawasan Chairil kian luas dan menjadi modal utama menggeluti dunia kepenyairan.

Chairil menulis puisi menjelang usia 20 tahun. Dimulai dengan Sajak Nisan dan diakhiri dengan Cemara Menderai Sampai Jauh.

Dibutuhkan waktu hingga 7 tahun untuk (1942-1949) untuk melahirkan karya yang keseluruhannya berjumlah 94 buah. Terdiri dari 70 sajak asli, 4 saduran, 10 sajak terjemahan, enam prosa asli dan empat terjemahan.

Seluruh karya Chairil Anwar itu didokumentasikan oleh H.B. Jasin dalam tiga buku. Yakni, Deru Campur Debu; Kerikil Tajam, Yang Terhempas dan Yang Putus; dan Menguak Takdir (bersama Asrul Sani dan Rivai Apin).

Keseluruhan sajanya kaya dengan beragam nuansa. Yakni nuansa nafas kepahlawanan, luapan rasa cinta tanah air, dan kobaran semangat hidup. Karyanya tak pernah basi. Bahkan tak lekang panas dan tak lapuk oleh hujan.

Raga Chairil Anwar harus berakhir pada usia 27 tahun. Ia meninggal dunia pada pukul 14.30 WIB, 28 April 1949, akibat menderita penyakit TBC, di RS Cipto Mangunkusumo. Jasadnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta Pusat.

Di akhir hayatnya, Chairil Anwar masih sempat menitip pesan kepada pewarisnya. Ia pun meninggalkan seorang istri bernama Habsah dan putrinya bernama Evawane Elissa.

Pesan Chairil Anwar: “Tiap seniman harus seorang perintis jalan, adik! Penuh keberanian. Tak segan memasuki hutan rimba penuh binatang buas, mengarungi lautan lebar tak bertepi…”.

Begitulah Asaroeddin MZ menulis sekelumit tentang perjalanan hidup seorang Chairil Anwar. Tidak semata-mata untuk mengenang tentang perjalanan hidup seorang penyair. Namun bisa menjadi sebuah pelajaran berharga bagi generasi mendatang.

Semangat Chairil Anwar akan terus mengalir bagi siapapun yang memiliki keinginan untuk berkarya. Tentunya dengan membangun budaya literasi lewat membaca berbagai karya anak bangsa, menuliskan sebuah pemikiran, hingga memiliki kemampuan menganalisa persoalan.

Tak kalah penting lagi, hasil dari membaca berbagai referensi dan menuliskan sebuah pemikiran akan menghasilkan solusi dalam mengatasi berbagai persoalan. Pastinya, setiap diri tidak akan ragu menetapkan jalan hidup di masa mendatang. (DDJP/df)