Komisi A DPRD Provinsi DKI Jakarta menyesalkan terjadinya ketidaktegasan implementasi payung hukum tentang penagihan penyerahan fasilitas sosial (Fasos) dan fasilitas umum (Fasum) oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) kepada pengembang.
Wakil Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Inggard Joshua mengatakan, sejauh ini Pemprov DKI Jakarta telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2012 tentang Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum. Beleid tersebut mengatur mengenai kewajiban pengembang menyerahkan fasos fasum kepada Pemprov DKI.
Bahkan, aturan tersebut juga telah diperkuat dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Mekanisme Penyerahan Kewajiban dari Pemegang Izin dan Non-Izin sebagai penyempurna atas Peraturan Gubernur Nomor 228 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Nomor 41 tahun 2001 tentang Tata Cara Penerimaan Kewajiban Dari Para Pemegang SIPPT Kepada Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
“Anehnya ketika (pergub) ini dibuat untuk melindung konsumen, tapi tidak dilaksanakan dengan sepenuhnya. Bahkan Pergub-Pergub yang dibuat setelah perda ini lewat Pergub yang tahun 2020 diterbitkan tanggal 5 Februari tidak juga merangkum masalah apa yang menjadi dasar hukum Perda 7 tahun 2012 ini,” ujar Inggard pada rapat kerja Komisi di gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (27/2).
Sementara itu, Anggota Komisi A DPRD Gembong Warsono mengusulkan kepada Biro Hukum agar mengkaji kembali aturan dan sanksi yang melekat dalam Pergub Nomor 12 Tahun 2020 tentang Mekanisme Penyerahan Kewajiban dari Pemegang Izin dan Non-Izin yang baru-baru ini diundangkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Pasalnya, sejauh ini masalah yang terjadi ada pada pengembang yang diberikan izin jauh sebelum tahun 1980 dan tidak memiliki SIPPT. Bahkan pengembang tersebut tidak terdeteksi lagi telah diberikan pengelolaan aset berupa lahan di mana.
“Kalau yang diatas 80an, 90an sampai 2000an keatas kan sudah tidak masalah. Inilah yang seperti ini memang harus dituntaskan, makanya tadi saya katakan Pergub (pengembang) itu nyangkut kesana tidak. Kalau tidak nyangkut, kasihan juga kalau Walikota selama ini tidak bisa bekerja lebih optimal menagih kewajiban fasos fasum ini,” ungkap Gembong.
Sementara itu, Kepala Biro Hukum Setda Provinsi DKI Jakarta Yayan Yuhanah meyakini Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 12 tahun 2020 tentang Mekanisme Penyerahan Kewajiban dari Pemegang Izin dan Non-Izin akan berjalan efektif di lapangan. Menurutnya, ada sejumlah klausul dalam beleid Pergub tersebut dengan diperkuat landasan hukum yang termaktub dalam Perda Nomor 7 Tahun 2012 tentang Prasarana Sarana dan Utilitas Umum seperti penetapan sanksi bagi pengembang yang belum menyerahkan fasos fasum kepada Pemprov DKI.
“Jadi bukan tidak sesuai (aturan) sesungguhnya, tapi materi-materi dalam Pergub itu ada batasannya, dan perdanya toh masih berlaku. Dengan adanya Perda itu walaupun di Pergub tidak menyebutkan sanksi juga kita juga bisa dilaksanakan berdasarkan Perda,” terangnya.
Dengan demikian, pihaknya sejauh ini akan terus melihat potensi-potensi hukum yang akan ditimbulkan dari implementasi Pergub Nomor 12 Tahun 2020 tentang Mekanisme Penyerahan Kewajiban dari Pemegang Izin dan Non-Izin. Bahkan, pihaknya akan bersikap kooperatif untuk melakukan evaluasi dan uji materi jika Pergub yang baru ditetapkan 5 Februari 2020 itu tidak mampu menggenjot peningkatan kewajiban penyerahan fasos fasum bagi pengembang.
“Jadi Pergub ini masih baru, pelaksanaan baru mulai juga nih baru diundangkan tanggal 5 (Februari). Kalau sudah pelaksanaan tapi di lapangan ada kendala tentu kita evaluasi, kita harap supaya lebih bagus dan lebih sempurna lagi dalam proses-proses administrasi penyerahan fasos fasum dari Pergub-Pergub sebelumnya dan bisa menarik semua kewajiban-kewajiban dari pengembang itu, baik dari SIPPT berdasarkan kerjasama-kerjasama dengan Pemprov DKI,” tandas Yayan. (DDJP/alw/oki)