Usman, pemuda tamatan Sekolah Dasar (SD), setiap hari terpaksa harus menerima nasib untuk bergumul dengan tanah dan lumpur menggarap sawah peninggalan almarhum orangtuanya di kampung.
Tetapi, ia tetap ceria dan tak pernah mengeluh. Walau kadang-kadang digodain tetangganya. Sebab, semasa orangtuanya masih hidup, Usman enggan meneruskan sekolah.
Padahal secara perekonomian keluarga, orangtua Usman terbilang mampu. Sebagai konsekuensinya, bukan hanya istri, tetapi anak-anaknya juga sering menggoda Usman sebagai orang yang terlalu menyerah pada nasib.
Suatu ketika, Usman didatangi aparat Suku Dinas Pertanian. Lalu, berdialog cukup panjang menyangkut masalah pertanian.
Saat ditanya lulusan sekolah apa, Usman mengaku hanya lulusan SD. Tapi berkat ketekunan dan disiplin membayar kredit pupuk bersubssidi dan hasil panennya melimpah, Usman memperoleh piagam penghargaan dari Suku Dinas Pertanian.
Saat petugas Sudin Pertanian itu menyodorkan sebuah buku dan menyodorkan pulpen untuk menandatangi sertifikat, Usman tertegun dan tangannya yang memegang pupen gemetar. Air mata Usman meleleh di pipi.
“Kenapa, Bang Usman terharu menerima sertifikat ini?” tanya petugas.
Tak menjawab pertanyaan itu, Usman hanya menggelengkan kepala.
“Sampeyan tandatangani sertifikat ini. Di sini letaknya,” kata petugas itu lagi.
Karena Usman tak segera menandatangai sertifikat itu dan tangannya terus gemetar, petugas itu kembali bertanya.
“Kanapa? Tangan anda sakit? Tadi, saya lihat sampeyan begitu bersemangat mengayunkan cangkul saat menggarap sawah,” kata petugas itu lagi.
“Iya, pak. Ternyata pulpen itu lebih berat dibandingkan cangkul,” jawab Usman terbata-bata. (stw/df)