Abu Bakar berdiri dengan pandangan nanar ketika melihat dua anak sedang bertengkar memperebutkan layang-layang.
Ia tahu, kedua anak tersebut adalah anak dari seseorang yang ia kenal baik. Pikiran Abu Bakar menerawang ke masa lalu.
Saat kecil sampai masa remajanya, ia sering main layang-layang dengan ayah kedua anak yang berebut layang-layang itu.
Lamunannya buyar ketika kedua anak itu berhenti berebut layang-layang dan bersalaman saling meminta maaf.
Kembali ingatannya pada masa lalu. Perilaku seperti itu pula pernah ia lakukan.
“Kok Bapak seperti melamun. Ada apa Pak ?” tanya kedua anak itu serempak.
“Oooh,…………Tidak. Kamu anaknya………………..”
“ Syumanjaya,” jawab si bocah.
”Saya anaknya Rohman,” kata bocah yang satu lagi.
Ingatan Abu Bakar menerawang ke masa lalu. Masa kanak-kanak dan masa remajanya saat sama-sama main layang-layang dengan teman-temannya.
Secara reflek, ia merogoh kantong celananya dan memberikan sejumlah uang kepada kedua bocah itu untuk membeli layang-layang dan jajan.
“Abi kok di sini. Katanya ke rumah teman yang sedang sakit?” tanya Intan, putri keduanya.
“Abi sudah pulang. Tadi, saat Abi lewat, kedua anak ini yang sedang berebut layangan,” kata Abu Bakar.
“Siapa mereka Bi ?” tanya Intan.
“Dia anak dari Sumanjaya dan Rahman teman Abi dulu,” jawab Abu Bakar.
“Teman main layang-layang dulu. Kata kakek, Abi dulu suka bandel kalau sudah main layang-layang,” Intan menelisik.
“Itu dulu. Seperti saya juga Sekarang makin sedikit orang yang main layang-layang. Karena mereka sendiri nasibnya sudah tak ubahnya layang-layang itu sendiri,” kata Syahri, teman main layang-layang Abu Bakar dulu yang kebetulan lewat..
“Lho, kenapa Pak?” tanya Intan penasaran.
“Ya. Seperti nasibku dan nasib Abi-mu sekarang. Terombang-ambing di antara buka tutupnya lapangan kerja akibat teknologi yang senantiasa berubah dan terus berlari. Karena aku dan Abi-mu dan kawan-kawan dianggap tidak loyal pada perusahaan di mana kita kerja dulu, akhirnya terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak,” kata Syahri. (DDJP/stw)