‘Konsesi Balas Budi’

June 27, 2024 10:07 am

Pembangunan berkelanjutan atau sustain development, apabila pembangunan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Banyak pihak berkomentar, pemberian izin pertambangan kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan berpotensi menimbulkan masalah.

“Ormas keagamaan dinilai tidak memiliki kompetensi untuk mengelola tambang, seperti ramai dibahas dalam rapat kerja tadi,” ujar Syaiku buka suara usai makan siang di halaman Sekretariat Perusahaan tambang yang menggelar rapat koordinasi siang itu.

“Dalam rapat itu juga disinggung tentang pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteaan rakyat. Seperti diamanatkan Pasal 33 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD-NRI) 1945 akan sulit terwujud,” Purnomo menimpali.

“Ada pula undangan di sebelah saya yang bisik-bisik, mungkin itu yang disebut politik balas budi. Bagaimana tanggapan kalian?” tanya Suryanto cengengesan.

Syaiku dan Purnomo sebagai ketua dan sekretaris organisasi masyarakat milenial tidak menjawab pertanyaan Suryanto. Sebab sedang galau dengan maraknya kejahatan, pembunuhan, pemerkosaan, akibat judi online dan pinjaman oline (pinjol) yang menjerat masyarakat kelas menengah ke Bawah, belakangan ini.

Mereka menyadari, peran ormas keagamaan sangat diperlukan saat ini sebagai penjaga moral dan teladan perilaku masyarakat. Karena beratnya beban yang dihadapi, membuat banyak orang yang nekat untuk melakukan tindak kejahatan.

Di antara mereka, ada Eyang Kromosentiko yang sedang menikmati kopi pahit dan singkong rebus kesukaannya. Kepulan asap rokok kretek membawanya ke Zaman Babad Tanah Jawa.

“Masalah ini mengingatkan saya dimasa krisruh pengkhianatan dan lengsernya Joko Tingkir yang dilakukan oleh kawan-kawan dekatnya sendiri. Kehancuran Kerajaan Pajang, berawal dari kecerobhan Joko Tingkir dalam memberikan konsesi kepada sahabat-sahabatnya. Kerajaan Pajang yang berada di wilayah Surakarta, dulu terkneal makmur dan subur,” Eyang Kromosentiko berkomentar.

“Eyang bercerita tentang Babad Tanah Jawa? Menarik juga ceritanya. Gimana selanjutnya Eyang?” tanya mereka.

“Sebagai menantu Sultan Trenggono, Joko Tingkir atau yang dikenal dengan nama Sultan Hadiwijaya, berhasil memindahkan pusat kekuasaan dari Demak Bintoro ke Surakarta. Adipati Arya Penangsang sebagai pewaris Kerajaan Demak tidak setuju dipindahkannnya pusat kekuasaannya tersebut ke Pajang. Akhirnya, terjadi konflik terbuka antara Joko Tingkir dengan Arya Penangsang. Untuk menghadapi Arya Penangsang, Joko Tingkir meminta bantuan kepada Ki Ageng Pemanaha, Sutawijaya, dan Ki Penjawi. Joko Tingkir berjanji akan memberikan hadiah konsesi wilayah Mataram dan Pati kepada Ki Ageng Pemanahan dan kawan-kawan jika mereka berhasil membunuh Arya Penangsang,” cerita Eyang.

“Kisah selanjutnya bagaimana Eyang?” tanya mereka serempak.

“Ki Ageng Pemanahan menyanggupi permintaan Joko Tingkir. Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, dan Sutawijaya pun berembug dan mengatur strategi, bagaimana menghadapi lawan politik Pajang tersebut. Karena, tidak mudah mengalahkan Arya Penangsang sebagai Adipati Jipang Panolan. Karena dia memiliki keris pusaka bernama Setan Kober, peninggalan kerajaan Majapahit. Sutawijaya ditunjuk sebagai eksekutor untuk menghadapi Arya Penangsang. Sedangkan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi mengawasi dari kejauhan. Arya Penangsang sengaja dipancing untuk keluar dari wilayah Jipang Panolan atau sekitar Blora saat ini. Konon, kesaktian Arya Penangsang akan luntur jika menyeberangi Bengawan Sore,” urai Eyang Kromosentiko.

“Cerita babad ini pernah diutarakan Pak Soeratman, guru pendidikan budi pekerti yang merangkap guru sejarah saya dulu, saat masih duduk di Sekolah Rakyat. Sayang, karena pendidikan budi pekerti sekarang sudah dihilangkan, sehingga murid-murid Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama sekarag seperti kehilangan sejarah dan kurang memiliki tatakrama,” celetuk Sulaiman,

Eyang Kromsentiko melanjutkan. Akhirnya, Arya Penangsang tewas oleh tombak Kyai Plered milik Sutawijaya. Atas keberhasilan misi pembunuhan tersebut, wilayah Mataram menjadi milik Sutawijaya dan mejadi kerajaan besar.

Sutawijaya bergelar Panembahan Senopati, sehingga Pajang dan Mataram ibarat matahari kembar. Konon, Joko Tingkir akhirnya tewas dibunuh oleh jin suruhan Panembahan Senopati,” lanjut Eyang Kromosentiko.

“Kalau begitu, itu namanya kutukan pemberi konsesi, ya Eyang,” sela Sulaiman membuyarkan lamuan yang hadir.

“Betul. Berbuat benar belum tentu ‘pener” (tepat). Karena itu, kalau kita akan memberikan konsesi, ditimbang dulu manfaat dan mudaratnya. Jangan sampai balas budi malah menimbulkan masalah di kemudian hari,” pesan Eyang Kromosentiko. (DDJP/stw)