Udin bercerita pada anak-anaknya, setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun 1987, ia berkonsultasi dengan ayahnya tentang SMA yang dia incar.
Ia ingin masuk SMA Negeri 8 Jakarta yang saat itu menjadi sekolah favirit dan terkenal susah untuk dimasuki. Udin mengaku cukup galau, karena SMA tersebut lokasinya Bukitduri, Manggarai cukup jauh dari tempat tinggalnya, Jagakarsa, ujung selatan Jakarta.
“Artinya, untuk masuk pukul 07.00 pagi, saya harus berangkat selepas Subuh dengan tiga kali naik angkutan kota( angkot). Kalau dapat kelas siang,saya harus siap sampai rumah pukul 9 malam atau pukul 21.00 malam. Karena belum ada kereta rel listrik (KRL). Apalagi TransJakarta atau JakLingko seperti sekarang,” kenang Udin.
“Teus, menarik juga cerita ayah,” kata Entin dan Anton yangkini duduk di semester VII Fakultas Hukum dan Semester VI jurusan Fisika hampir berbarengan.
“Alih-alih memberi pandangan alternatif yang menurut ayah, atau kakek kalian, hanya menjawab pendek bahwa setiap keputusan ada konsekuensinya. Percakapan pendek ini menatahkan prinsip konsekuensi dalam perjalanan kehidupan ayah selanjutya,” kata Udin.
“Lalu, bagaimana ayah?” Entin dan Anton semakin penasaran.
“Di belakang hari, ayah melengkapinya dengan pemahaman bahwa kadang kita ikut menanggung konsekuensi dari pilihan orang lain dan sebaliknya. Kadang, pilihan kita meyebabkan orang lain ikut menanggung konsekuensi. Prinsip aksi-reaksi barangkali adalah salah satu hukum fisika dasar sekaligus hukum kehidupan yang paling terkenal,………”
“Contohnya apa, ayah ?” Entin dan Anton menyelak.
“Setiap aksi menimbulkan reaksi berikutya. Mahaguru System Thinking, Peter Senge , bahkan menggunakan prinsip ini untuk memahami sistem yang kompleks, dengan model reinforcing dan balancing feedback loop untuk melihat hubungan antar-faktor atau elemen sistem,” jawab Udin sambil menatap tajam kedua anaknya.
“Kalau nggak salah, dengan lebih sederhana Stephen Covey memperkenalkan prinsip The Other End of The Stick. Covey mengingatkan, apabila kita mengangkat satu ujung tongkat cukup tinggi, maka ujung lainnya pasti akan ikut terangkat. Itulah konsekuensi. Kita bisa memilih akan mengangkat ujung pertama atau tidak. Tapi kita tidak bisa memilih konsekuensinya,” kata Anton.
“Lalu, bagaimana pendapat ayah tentang isu Presidential Club dan bagaimana konsekuensinya,” tiba-tiba Diana yang masih duduk di Semester IV Fisipol nyeletuk.
“Dalam konteks personal, pilihan reaktif atau responsif tampak tidak berpengaruh signifikan. Toh dampak ditanggung sendiri, dan mungkin tidak berdampak besar pada orang lain. Menjadi berbeda bila kita bicara tentang kehidupan bersama. Keputusan yang diambil seorang pemimpin untuk organisasinya pasti akan berdampak pada seluruh organisasi. Keputusan orangtua akan berdampak kepada anak-anaknya, dan seterusnya. Apalagi keputusan yang diambil oleh para pejabat publik dan birokrat serta aktor politik, karena akan berdampak langsung pada kehidupan bersama bangsa ini. Walaupun mereka mengambil keputusan untuk diri sendiri, konsekuensinya diterima oleh rakyat. Contoh konkret yang bisa kita lihat adalah pusaran uang amplop dan hadiah material bagi rakyat sepanjang Pemilu yang lalu,” jawab Udin sambil senyum kecut.(DDJP/stw)