Komisi B DPRD Provinsi DKI Jakarta mendorong PT MRT Jakarta mengkaji dan memaparkan lagi keputusan penetapan lokasi dipo Moda Raya Terpadu (MRT) perpanjangan fase II dari stasiun Kota menuju depo di Ancol Barat.
Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta Abdul Aziz mengatakan, peninjauan ulang atas penetapan lokasi perlu dilakukan mengingat pelaksanaan pembangunan dari pinjaman tambahan kepada Pemprov DKI, pemerintah pusat, maupun Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk perpanjangan fase II.
“Kita mengkritisi karena ada hubungannya dengan investasi dengan perusahaan asing (JICA). Kemudian juga mengapa dipo yang direncanakan ini harus di lokasi Ancol Barat, sementara kita melihat beberapa lahan milik DKI dan BUMD tidak dimanfaatkan,” ujarnya pada rapat kerja di gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu (8/7).
Dengan demikian, Aziz menyatakan Komisi B DPRD DKI Jakarta akan menggelar rapat lanjutan untuk mendalami persoalan tersebut dengan menghadirkan sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait dalam pembangunan MRT fase II dan fase III.
“Ini belum selesai semuanya, kita akan lanjutkan lagi dengan rapat kerja yang sifatnya teknis. Kita akan bahas mengenai jalurnya, mengenai keputusan-keputusan tempat untuk dipo dan sebagainya. Nanti kita juga akan undang dari Dishub (Dinas Perhubungan) juga agar semuanya jelas membuat kebijakan dengan MRT sebagai pelaksana,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT. MRT Jakarta (Perseroda) William Syahbandar mengatakan bahwa pihaknya sejauh ini memastikan bahwa lokasi-lokasi yang akan digunakan sebagai tempat dipo MRT Jakarta Fase IIA Bundaran HI – Kota ataupun Fase IIB Kota – Ancol Barat dengan total lahan seluas 20 Hektare (Ha) telah dilakukan berdasarkan studi kelayakan dari Japan International Corporate Agency (JICA).
“Selain kualitas, kita juga butuh percepatan karena dengan JICA ini saja contoh bisa bikin tender itu 1 tahun, kemudian habis tender itu desain bisa 1 sampai 2 tahun. Kemudian belum lelang kontraktornya butuh 1 tahun, kalau mekanisme di kita kan bisa 2 sampai 3 bulan selesai, kalau di JICA itu harus prudent, harus berkonsultasi dengan Tokyo sehingga panjang (prosesnya),” terangnya.
Meski demikian, pihaknya tengah berupaya melihat referensi dari pengelolaan pembangunan MRT di negara-negara maju agar progres pembangunan MRT Jakarta untuk fase-fase selanjutnya tidak perlu bergantung dengan penerapan konsep teknologi ataupun rute yang ditawarkan oleh lembaga perusahaan asal Jepang tersebut.
“Jadi misalnya kalau JICA kasih bantuan, mungkin boleh tidak mekanismenya disederhanakan, tapi memang kalau disederhanakan kemungkinan JICA tidak akan mau kasih loan (pinjaman) karena Indonesia sudah naik kelas, sudah bukan dalam low-middle tapi sudah naik,” tandas William. (DDJP/alw/oki)