Revitalisasi pasar tradisional tidak selalu berbuah manis. Penetapan lokasi dan tarif sewa ikut mempengaruhi. Sejumlah pasar tradisional di DKI Jakarta direvitalisasi.
Dengan revitalisasi, diharapkan bukan hanya kondisi fisik pasar yang lebih bersih dan nyaman, tetapi juga perputaran ekonomi di sana lebih bergairah. Sayangnya, tidak semua tujuan itu tercapai.
“Tengok saja Pasar Cikini, Jakarta Pusat. Kendati sejak tahun 2013 kondisi fisiknya lebih bagus dibandingkan dengan sebelum direvitalisasi, tetapi pengunjungnya malah berkurang. Merosotnya minat konsumen untuk datang ke pasar tradisional yang kini menyatu dalam gedung modern Cikini Gold Center tersebut bahkan membuat sekitar 40 persen pedagang tidak mampu lagi melanjutkan usaha dan menutup tempat usaha mereka. Berdasarkan pantauan, pasar yang menempati lantai basement gedung Gold Center itu sangat rapi dan bersih. Berbagai jenis kebutuhan dijual di sana. Mulai sayuran, daging, aneka bahan pangan lainnya hingga keranjang parcel Semuanya tersusun rapi,” ujar Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Hasan Basri Umar, Jumat (8/3/2024).
Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Hasan Basri Umar. (dok.DDJP)
Wakil rakyat dari Fraksi Partai Nasdem itu menambahkan, pengunjung juga tidak perlu lagi berbecek-becak untuk menyusuri setiap kios atau berpindah dari satu los ke los lainnya. Sebab, lantai pasar terbuat dari keramik.
Namun, hal itu berbanding terbalik dengan kehadiran pengunjung. Sebab, pasar tersebut kini lebih sepi dibandingkan sebelum direvitalisasi.
“Seperti itulah yang dikatakan Lie Tjan Tjie (67), salah seorang pedagang kebutuhan pokok yang berjualan di pasar itu sejak 1972. Menurut dia, fasilitas pasar pascarevitalisasi memang lebih nyaman dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya berupa pasar tradisional seperti kebanyakan yang terdiri dari satu lantai. Pasar lebih tertata rapi dan bersih karena tidak ada lagi sampah berserakan. Sejumlah petugas kebersihan selalu rutin membersihkan pasar. Saat hujan mengguyur pun para pedagang tak perlu khawatir atap pasar bocor. Namun para pedagang mengeluh, kondisi pasar yang lebih bersih dan nyaman tersebut ternyata tak membuat konsumen tertarik berbelanja. Kondisi pasar tersebut kini semakin sepi,” imbuh Hasan Basri.
Jumlah Pengunjung makin Merosot
Sekretaris Komisi B Wa Ode Herlina menduga, salah satu penyebabnya ialah lokasi pasar tradisional tempat para pedagang berjualan itu berada di lantai basement. Sehingga tidak tampak dari luar.
“Orang-orang tahunya di sini Cikini Cold Center dan tak tahu bahwa di bawahnya ada pasar tradisional. Selain soal lokasi sebagian besar pelanggannya yang tinggal di sekitar Cikini dan Menteng kini berusia senja, sehaingga tidak lagi berbelanja ke pasar. Sementara itu konsumen muda pasti lebih memilih belanja di pasar swalayan. Akibatnya, para pedagang pasar tradisional kalah bersaing,” ungkap Wa Ode.
Sekretaris Komisi B DPRD DKI Jakarta Wa Ode Herlina. (dok.DDJP)
Keluhan seperti itu juga disampaikan pedagang lainnya, Handoko (76). Dia mengatakan, kisah pasar tradisional Cikini tersebut sering dikunjungi para isteri pejabat. Tetapi sekarang tinggal sejarah karena masa itu sudah berlalu.
Kepala Pasar Cikini, Imam Taufik mengakui sepinya pasar tersebut. Ini terjadi karena kurangnya sosialaisasi serta minimnya papan informasi yang menunjukkan keberadaan pasar tersebut di lantai basement.
Dari total 245 tempat usaha yang tersedia, kini hanya 141 yang masih aktif digunakan untuk berjualan. Tempat usaha itu terdiri dari 82 kios dan 59 lapak yang berada di los.
Kios yang tidak lagi aktif itu kini disegel pihak PD Pasar Jaya karena penggunanya menunggak biaya administrasi.
“Semua yang menuggak administrasi itu sudah disegel permanen. Artinya, para pedagag tidak lagi memiliki hak lagi di situ,” papar dia.
Anda (62), pedagang di los sayuran mengaku masih mencicil hak guna pakai tempat usaha di sana. Tetapi, ia kebingungan. Akan berhenti berjualan atau berhenti di tengah kelesuan.
“Mau lanjut berjualan sepi. Sementara itu, kalau mau berhenti, sayang, karena cicilannya sudah selesai,” tutur dia.
Pasar tradisional Cikini, terdiri dari 245 tempat usaha, tepi hanya 141 kios yang dimanfaatkan para pedagang untuk berusaha.
Selebihnya, 104 kios yang tak digunakan, kini disegel oleh PD Pasar Jaya. Biaya bagi pengguna kios dan lapak adalah sebagai berikut;
Kios berukuran 4,25 m2, retribusinya Rp 125.0/bulan belum termasuk listrik dan air. Lapak berukuran 2,25 m2 tarifnya RP 62.500 per bulan.
Para pedagang yang ingin mendapatkan hak guna pakai (HGP) harus membayar kios Rp 62,5.juta. Sedangkan lapak, Rp 22,5 juta. Biaya HGP tersebut berlaku selama 20 tahun. (DDJP/stw)