Kisah Dua Istana di Rijwijk

August 29, 2024 3:04 pm

Istana Merdeka dan Istana Negara yang terletak dalam satu kompleks, hanya dipisahkan sebuah taman. Istana negara yang terletak di daerah Rijwijk, kini bernama Jl. Veteran No.17, dibangun pada 1794.

Sedangkan istana merdeka di Koningsplein Paleis, dibangun setengah abad (50 tahun) kemudian. Tepatnya pada 1844. Letaknya di Jalan Medan Merdeka Utara berhadapan dengan Monumen Nasional (Monas).

Berdirinya kedua istana tersebut tak bisa dipisahkan ketika pada akhir abad ke-17 dirasakan bahwa daerah kota (sekitar Pasar Ikan) tidak layak lagi dijadikan tempat permukiman.

Akhirnya, terjadilah pemindahan secara besar-besaran ke daerah yang lebih tinggi dan sehat, yakni Weltevreden.

Ketika, kawasan tersebut masih berupa hutan dan rawa-rawa serta padang rumut milik Anthony Pavilyoen.

Pada awal abad ke-19, semasa Hindia Belanda di bawah pemerintahan Daendels, Weltevreden dijadikan ibukota baru dan pusat Pemerintahan Belanda.

Mula-mula, di sana dibangun sebuah istana tempat tinggal para gubernur jendral di Waterlooplein (kini Lapangan Banteng).

Tetapi pembangunannya tersendat-sendat karena biaya. Sedangkan gubernur jendral pertama yang memanfaatkan Istana Negara sebagai tempat tinggal dan kantor adalah Baron van der Capellen.

Sebagai istana, gedung itu sering dipergunakan untuk tempat menginap para pegawai tinggi Belanda.

Gubernur Jendral Van den Bosh (1830-1833) juga pernah menempatnya. Dia dikenal sebagai gubernur jendral yang sangat kejam karena memaksa rakyat untuk menanam tanaman yang laku kersa bagi orang Eropa.

Tindakannya ini dikenal dengan istilah ‘tanam paksa’. Sebaliknya, tindakan Van den Bosh yang memberatkan rakyat itu justru membawa keuntungan bagi Belanda.

Pada masa Pemerintahan Jepang selama 3,5 tahun, fungsi Istana Negara menjadi tempat shiko shikikan (Panglima tentara Jepang) yang berkuasa atas Indonesia, yaitu Hitoshi Imamura (1942-1943), Kumakishi Harada (1943-19459 dan jendral Yamaguchi.

Walau Bangsa Indonesia telah memproklamirkan Kemerdekaan, gedung istana itu masih diduduki bala tentara Jepang yang dibebani tugas untuk menjaga keamanan atas perintah Sekutu yang menang perang.

Pada 1947, di Istana Negara ditandatangani persetujuan Linggarjati. Selama itu, Belanda masih berusaha untuk menguasai dan menekan Bangsa Indonesia. Hal itu mengakibatkan terjadinya peperangan Indonesia-Belanda.

Markas Tjakrabirawa

Di Rijwijk, terdapat bangunan tua milik Pieter Terncy yang kemudian menjadi Hotel der Nederlanden dan setelah dibongkar Presiden Soeharto, bangunan itu dijadikan Gedung Bina Graha.

Sebelumnya, Bung Karno menjadikannya sebagai Markas Tjakrabirawa, pasukan pengawal presiden.

Rijwijk ketika itu merupakan kawasan elite yang dihuni warga Belanda. Dinamakan Istana Merdeka karena waktu terjadinya upacara penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 berkumandang pekik ‘Merdeka………Merdeka……..Merdeka!’ dari rakyat begitu Bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan Bendera Merah Putih.

Keesokan harinya, Bung Karno mendatangi Istana Merdeka. Sejak Januari 1945, hijrah ke Yogyakarta setelah Jakarta diduduki NICA.

Dalam perjalanan dari Bandara Kemayoran ke istana, Bung Karno disambut lautan manusia di sepanjang jalan yang mengelu-elukannya.

Beliau bediri di mobil kap terbuka sambil melambai-lambaikan tangan. Sejak saat itu, Bung Karno dan keluarga tinggal di istana.

Kondisi itu, mengingatkan pula kita kepada Ir. Joko Widodo (Jokowi) setelah terpilih menjadi Presiden RI dalam Pemilihan Presiden 2014.

Dia juga dielu-elukan masyarakat dengan harapan bisa mengikuti jejak Bung Karno dalam memimpin negara. Hanya bedanya, Jokowi dan keluarga tidak tinggal di Istana Merdeka, seperti Bung Karno dahulu.

Bung Karno menjadikan istana sebagai tempat tinggal dan tepat kerja resmi. Termasuk pelantikan resmi para menteri, penganugerahan Satyalencana dan penerimaan tamu-tamu negara dari berbagai negara pun dilakukan di Istana Merdeka.

Setiap upacara pengibaran bendera peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus, Bung Karno selalu berpidato dihadapan puiluhan ribu massa rakyat yang bekumpul di depan Lapangan Monas.

Rakyat dengan tekun mendengarkan pidatonya selama berjam-jam dan massa bertepuk tangan dengan meriah menyambut pidato Bung Karno yang berapi-api.

Pada masa Presiden Soehareto, fungsi gedung istana mulai dikurangi, karena Pak Harto seringkali melakukan kegiatan di kediamannya, Jl.Cendana.

Sedangkan sebagai kantor untuk melaksanakan kegiatan dipilih gedung Bina Graha. Walau Pak Harto tetap melakukan kegiatan di Istana Merdeka saat menerima para tamu asing dan peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan.

Tetapi, Pak Harto tidak berpidato di depan rakyat sebagaimana dilakukan Bung Karno. Hanya pada detik-detik proklamasi, acara pengibaran dan penurunan Bendera Pusaka Merah Putih dilakukan di halaman Istana Merdeka.

Gedung Istana Merdeka dan Istana Negara, walau termasuk gedung lama, hingga kini kebersihan dan keindahannya masih tetap terjaga dan terpelihara.

Apalagi setelah Presiden Joko Widodo memimpin negara ini, kedua istana tersebut tidak lagi angker. Pada hari-hari tertentu dinyatakan terbuka untuk umum.

Seperti halnya gedung Balaikota DKI Jakarta di Jl. Medan Merdeka Selatan, setiap Sabtu dan Minggu juga terbuka untuk umum bagi masyarakat yang ingin mengetahui sejarah Kota Jakarta. (DDJP/stw/df)