Kyai Haji Noer Alie, lahir sebagai anak keempat dari sepuluh bersaudara pasangan H.Anwar bin H.Layu dan Hj. Maimunah binti Tarbin pada tahun 1914 di Desa Ujung Malang, Onderdistrik Babelan, Distrik Bekasi, Regentschap (Kabupaten ) Meester Cornelis ( Jatinegara-Jakarta Timur sekarang), Residensi Batavia, sebelum diganti menjadi Desa Ujung Harapan Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat atas usulan Menteri Luar Negeri, Adam Malik pada tahun 1970-an ketika berkunjung ke Pesantren Attaqwa.
Hingga wafatnya, tidak ada yang tahu persis tanggal dan bulan kelahiran K.H. Noer Alie. Kecuali tahunnya, 1914. Ini terjadi karena kebiasaan penduduk kampung yang tidak mencatat peristiwa dalam bentuk tulisan. Terutama menyangkut hari, tanggal, bulan dan tahun kelahiran seseorang. Kalau pun menggunakan daya ingat, semua tergantung dari kemampuan seseorang merangkaikan suatu peristiwa dengan peristiwa lain. Sehingga, kelahiran seseorang dapat diduga, dan keabsahannya pun sangat diragukan.
Dari berbagai sumber yang didapatkan menyebutkan, pada awal usia 3 tahun, Noer Alie kecil sudah memiliki pamor kepemimpinan. Saat bermain, ia tak pernah mau tampil di belakang dan tidak mau diiringi. Ia selalu ingin tampil di depan sebagai orang yang pertama, meski jumlah temannya hanya belasan orang. Bahkan kurang dari sepuluh orang sekali pun. Dalam berbagai permainan pun ia tak pernah mau kalah dengan teman-temannya. Baik ketika main bengkat, layang-layang, cor, peletokan, teprak dan perang-perangan.
Noer Alie kecil pun sudah memperlihatkan semangat belajar. Konon, di usia 8 tahun, ia dikhitan dan belajar kepada Guru Maksum di Kampung Bulak, Klender, Jakarta Timur. Pelajaran yang diberikan, lebih dititikberatkan pada pengenalan dan mengeja huruf Arab, menghafal, dan membaca Juz Amma. Ditambah menghafal dasar-dasar rukun Islam dan Rukun Iman, tarikh para Nabi, akhlak dan fiqih. Karena sejak kecil Noer Alie sudah terbiasa belajar dengan orangtua dan kakak-kakaknya, ia pun tidak merasa kesulitan mencerna pelajaran-pelajaran yang diberikan gurunya.
Setelah tiga tahun belajar pada guru Maksum, pada 1925 Noer Alie belajar pada guru Mughni di Ujung Malang. Di sini, Noer Alie mendapat pelajaran al-Figh ( tata bahasa Arab), Alquran, Tajwid, Nahwu, Tauhid dan Fiqih. Seiring dengan perkembangan usia dan pelajaran yang diperoleh dari guru-gurunya, keingintahuannya pada dunia luar semakin kuat. Noer Alie bersama kawan-kawannya bermain ke kampung-kampung di sekitar tempat tinggalnya. Bahkan keingintahuannya untuk melihat rumah gedung tuan tanah, tingkah laku tuan tanah dan aparatnya.
KH Noer Alie juga populer dengan sebutan Ulama Pejuang dari Tanah Betawi. Pertanyaannya, kenapa disebut ulama pejuang dari Tanah Betawi, padahal ia lahir dan tinggal di Bekasi ? Menurut catatan AM Fatwa dalam bukunya Pahlawan Nasional KH Noer Alie, Ulama Pejuang dari Tanah Betawi-Singa Karawang Bekasi, Betawi bukanlah wilayah administrasi pemerintahan. Tetapi, Betawi adalah nama suku bangsa dan wilayah yang terkait dengan budaya.
Selain itu, wilayah gerakan perjuangannya dimasa revolusi kemerdekaan juga meliputi Klender dan Jatinegara, Jakarta Timur. Sedangkan murid-muridnya pun tersebar luas di seluruh Jakarta atau Tanah Betawi. Ketika Jatinegara dijadikan kabupaten, di mana Bekasi termasuk salah satu wilayahnya, KH Noer Alie yang semula dijadikan koordinator, ternyata menolak saat diminta menjadi bupati, karena memegang teguh pesan gurunya di Makkah,Syeikh Ali al-Maliki agar ia tidak menjadi pegawai pemerintah, sehingga ditunjuk orang lain untuk menjabst bupati Jatinegara. Penolakan tawaran jabatan di pemerintahan itu dimaksudkan agar ia lebih fokus membina umat. Khususnya memimpin pesantren Attaqwa yang didirikan sejak tahun 1940.
Semangat Cinta Tanah Air
Berkat keingintahuannya itu pula, Noer Ali sudah bisa membandingkan antara konsep normatif yang diajarkan gurunya dengan kondisi realita penduduk waktu itu, Jika gurunya mengajarkan agar tidak melakukan kegiatan maksiat, justru pada kenyataannya, Noer Alie dihadapkan pada kondisi realita tersebut. Dia menganggap, ini sebagai akibat dari kurangnya pendidikan agama bagi masing-masing individu masyarakat.
Semangat cinta Tanah Air bernuansa keagamaan merasuk dalam hati sanubarinya. Suatu ketika, Noer Alie mengutarakan cita-citanya untuk menjadi pemimpin agama dan membangun sebuah perkampungan surga kepada adiknya, Marhamah ( Hj.Marhamah), Penduduk kampung yang dicita-citakan itu beragama Islam dan menjalankan syariat Islam.
Selain giat belajar agama, Noer Alie dikenal sebagai anak yang patuh dan rajin membantu ayah dan ibunya di rumah maupun di sawah. Kebiasaan Noer Alie adalah tidak mau melakukan pekerjaan yang tanggung-tanggung. Dia hanya mau mengerjakan pekerjaan itu secara menyeluruh dari awal sampai akhir, walau sarat dengan beban berat. Dia tercatat sebagai murid yang pandai, cerdas, dan tekun di pengajian guru Mughni.
Noer Alie dapat menguasai semua pelajaran dengan baik. Karena itu, wajar jika guru Mughni sangat menyayanginya. Khusus untuk pelajaran al-Fiqh ( pengetahuan tentang kaidah tata bahasa Arab), Noer Alie mampu menghafal seribu bait lebih awal. Di saat yang sama, saat guru Mughni berkeinginan menjadikan Noer Alie sebagai badal pun memberitahu kepada orangtuanya. Tetapi Noer Alie malah mengutarakan tentang keinginannya mondok ke Guru Marzuki di Cipinang Muara..
Mengingat bakat, kesungguhan, dan tekad yang besar Noer Alie, dengan berat hati akhirnya guru Mughni mengizinkan Noer Alie melanjutkan pendidikannya kepada Guru Marzuki di Cipinang Muara, Jakarta Timur pada tahun 1930-an. Di.sini ia menempuh pendidikan lanjutan setingkat Aliyah dengan mata pelajaran sebagaimana yang diberikan oleh guru Mughni. Tetapi, materinya dikembangkan dengan aspek pemahaman yang lebih ditekankan, seperti pelajaran Tauhid, Tajwid, Nahwu, Sharaf dan Fiqih.
Jika ada waktu senggang, terutama saat libur hari Jum’at, seminggu sekali Guru Marzuki mengajak Noer Alie berburu bajing. Menurut Guru Marzuki, bajing sangat merugikan para petani, khusunya petani kelapa. Karena bajing mempunyai kegemaran makan buah kelapa di puncak pohonnya. Dari Guru Marzuki pula, Noer Alie belajar menggunakan senjata. Pada tahun 1933, karena Noer Alie dinilai cerdas dan mampu mengikuti pelajaran dengan baik, ia diangkat menjadi badal. Fungsinya, menggantikan sang guru manakala ia sedang udzur ( berhalanagan).
Di pondok Guru Marzuki, Noer Alie banyak mempunyai teman yang kelak menjadi sahabatnya dan ulama terkenal di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi seperti KH. Abdullah Syafi’ie, KH.Abdurrachman Shadri, K.H. Abu Bakar, K. H Mukhtar Thabrani, K.H. Abdul Bakar Marzuki, K.H Hasbullah, KH Zayadi dan lain-lainnya.
Murid Kesayangan Guru Marzuki
Noer Ali dikenal sebagai murid yang mempunyai keinginan besar untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dari cerita Guru Marzuki, ia mendengar bahwa pendidikan tingkat lanjut untuk menjadi ulama yang baik adalah di Makkah. Awalnya, Guru Marzuki dan H.Anwar tak mengirim Noer Alie ke Makkah karena ekonominya pas-pasan. Guru Marzuki hanya bisa menyarankan agar Noer Alie melanjutkan belajarnya ke guru Abdul Madjid di Pekojan.
Tapi, Noer Alie mengemukakan, ia tidak akan berkembang jika masih berada di lingkungan Batavia ( Betawi ). Mendengar rengekan murid kesayangannya dan berbakat itu, Guru Marzuki dan H Anwar tak mampu menahan haru. Sebelum berangkat, Noer Alie dan Hasbullah (KH Hasbullah) menemui Guru Marzuki untuk meminta restu. Di akhir pertemuan, Guru Marzuki berpesan pada kedua murid kesayangannya itu.
“ Meskipun di Makkah belajar dengan banyak Syekh, tetapi kalian tidak boleh lupa untuk tetap belajar pada Syekh Ali al-Maliki,” papar Guru Marzuki.
Tahun 1934, Noer Alie ditemani sahabatnya, Hasbullah berangkat ke Makkah dengan uang pinjaman dari tuan tanah Wat Siong. Sesampainya di pelabuhan Jeddah, Noer Alie disambut oleh Syeikh Ali Betawi yang bertugas menyambut jamaah haji atau para pelajar yang bermukim di Makkah. Selanjutnya, Noer Alie melanjutkan perjalanan menuju Makkah dengan kendaraan unta selama dua hari satu malam.
Baru beberapa minggu di Makkah, Noer Alie mendapat kabar dari jamaah haji yang baru datang bahwa guru yang sangat dicintai dan dihormatinya, Guru Marzuki wafat. Untuk sementara waktu, Noer Alie, Hasbullah dan orang-orang yang kenal dengan Guru Marzuki berkabung dan melakukan shalat ghaib.
Sesuai pesan guru tercinta dan yang sangat dihormatinya, Guru Marzuki, Noer Alie langsung menghubungi Syeikh Ali al-Maliki. Adalah wajar jika Guru Marzuki meminta ia agar belajar kepada Syeikh Ali al-Maliki, karena guru Marzuki adalah murid kesayangan Syeikh Ali al-Maliki ketika bermukim di Makkah sejak tahun 1900 sampai tahun 1910.
Saat itu, Syeikh Ali al-Maliki berusia 75 tahun. Syeikh Ali al-Maliki adalah Syeikh yang mengajarkan berbagai macam cabang ilmu agama Islam, tetapi ajarannya lebih dititikberatkan pada Hadits. Kedekatan Noer Ali dengan Syeikh Ali al-Maliki terwujud pula dalam kegiatan sehari-hari. Hampir setiap hari, apabila menuju dan dari Masjidil Haram, ia memapah Syeikh Ali al-Maliki yang sudah renta itu dan membutuhkan waktu berjalan selama 15 menit.
Selain belajar dengan Syeikh Ali al-Maliki, ia juga menggali ilmu agama dari beberapa syeikh. Antara lain dengan Syeikh Umar Hamdan, Syeikh Ahmad Fatoni, Syeikh Ibnul Arabi, Syeikh Muhammad Amin al-Quthbi, Syeikh Achyadi, Syeikh Abdul Zalil dan Syeikh Umar at-Turki.
Kepada Syeikh Umar Hamdan yang berusia sekitar 70 tahun, Noer Alie belajat Kutubussittah. Syeikh Ahmad Faton adalah Syeikh yang berasal dari Patani (Muangthai), berumur 40 tahun, yang memberikan pelajaran Fiqih dengan kitab Iqna sebagai acuannya. Melalui Syeikh Muhammad Amin al-Quthbi yang berusia 45 tahun, Noer Alie belajar ilmu Nahwu, Qawafi (sastra), dan Badi’ (mengarang). Selain itu, Syeikh Quthbi pun mengajarkan ilmu Tauqid dan Mantiq ( ilmu logika yang mengandung falsafah Yunani) dengan kitab Asmuni sebagai acuannya. Sedangkan dari Syeikh Abdul Zalil diperoleh ilmu politik. Syeikh Umar at-Turki dan Syeikh Ibnul Arabi diperoleh ilmu Hadits dan Ulumul Qur’an.
Cinta Tanah Air
Berada jauh dari Tanah Air, tidak membuat Noer Alie lupa dengan bangsanya. Bahkan ia sangat rindu dengan Tanah Airnya. Melalui wesel dari orang tua dan surat kabar yang terbit di Saudi Arabia dan Hindia Belanda, ia bisa mengetahui situasi dan kondisi dunia dan tanah airnya. Adanya sarana organisasi seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Persatuan Talabah Indonesia (Pertindo), telah menggerakkan hati Noer Alie untuk turut andil di dalamnya. Pada beberapa kesempatan, ia sempat berdialog dengan beberapa pelajar asal Jepang. Di antaranya Muhammad Abdul Muniam Inada.
Betapa pun pentingnya organsasi, Noer Alie menyadari bahwa menuntut ilmu harus lebih diutamakan. Selain itu, faktor yang membuatnya tidak memasuki organisasi yang lebih besar ialah, karena masih banyak teman-temannya yang kesulitan keuangan, dan lemahnya kemampuan intelektual dan pengalaman organisasi dari individu masing-masing. Ia pun sadar bahwa kekuatan dapat dibina dari yang kecil atau dari yang bawah. Sebagai realisasinya, Noer Alie dan beberapa temannya, seperti Hasan Basri, membentuk organisasi Persatuan Pelajar Betawi (PPB) dengan dia sebagai ketuanya.
Ketika suasana mendekati Perang Dunia II ( akhir 1939), Noer Alie yang sudah memiliki cukup ilmu memutuskan untuk kembali ke Tanah Air. Syeikh Ali al-Maliki yang melihat potensi keulamaan Noer Ali berpesan di akhir pertemuan. “Kalau kamu mau pulang, silahkan pulang. Tetapi ingat. Jika bekerja jangan jadi penghulu ( pegawai pemerintah ). Kalau kamu mau mengajar, saya akan ridha dunia-akhirat.” Pesan tersebut dipegang teguh KH Noer Alie sampai akhir hayatnya, dipanggil kepangkuan Sang Khalik.
Mendirikan Pesantren
KH Noer Alie pulang ke kampung halamannya, Ujung Malang pada awal Januari tahun 1940. Kepulangannya telah menjadi duri dalam daging tuan tanah dan pemerintah Hindia Belanda. Setelah mendirikan pesantren, di tahun yang sama, tepatnya April 1940, ia menikah dengan Siti Rahmah binti KH Mughni.
Salah satu karya KH Noer Alie yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sampai sekarang adalah pembangunan dan pembukaan akses jalan secara besar-besaran antara Kampung Ujung Malang, Teluk Pucung dan Pondok Ungu. Dalam setiap jalan yang dibangun, beliau tidak pernah mengeluarkan biaya untuk pembebasan tanah warga. Tetapi jika itu merupakan instruksi dari Engkong Kyai ( KH Noer Alie ), semua warga dengan sukarela dan ikhlas akan mewakafkan tanahnya. Beliau turun langsung memimpin pengerjaan jalan tersebut secara gotong-royong pada pertengahan tahun 1941.
Sebagai salah seorang pemimpin agama yang namanya sudah masuk dalam daftar Shimubu ( Kantor Urusan Agama ) pada masa pendudukan Jepang ( 1942-1945 ), KH Noer Alie menyikapinya dengan sangat hati-hati. Pada pertengahan April 1942, KH Noer Alie memenuhi undangan tentara Jepang menghadap pimpinan Shimubu di kantor Shimubu, dekat masjid Matraman, Jatinegara. Ternyata di sana ada Muhammad Abdul Muniam Inada, pelajar Jepang yang menjadi temannya di Makkah menjadi ketua Shimubu.
Secara formal, atas nama pemerintahan pendudukan, Muniam meminta KH Noer Alie agar bersedia membntu Jepang dalam bentuk partisipasi langsung dalam aktifitas yang diprogramkan Shimubu. Menyadari posisinya dalam kondisi serba salah, dengan kemahirannnya berdiplomasi, secara halus ia menolak ajakan Muniam dengan alasan, “Saya sedang memimpin pesantren yang baru didirikan. Kalau saya terjun bersama ulama lain, bagaimana nasib santri saya. Mereka akan terceri berai tak terurus”.
Dengan alasan yang masuk akal tersebut , Muniam mengizinkan KH Noer Alie tetap mengurus pesantren sambil tetap berdoa demi kemakmuran Asia Raya. Untuk mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu bangsa Indonesia harus bertempur secara fisik, KH Noer Alie menyalurkan santrinya ke dalam Heiho (pembantu prajurit Keibodan atau barisan pebantu polisi ) di Teluk Pucung dan menyuruh salah seorang santrinya untuk mengikuti latihan kemiliteran Pembela Tanah Air (PETA).
Ketika Indonesia Merdeka, KH Noer Alie terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapangan Ikada, Jakarta ( Monas-sekarang), KH Noer Alie mengerahkan massa untuk hadir . Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi Ketua Laskar Rakyat Bekasi yang selanjutnya menjadi Komandan Batalyon Hisbullah Bekasi. Gelar Kiai Haji sendiri didapatkan dari Bung Tomo yang dalam pidatonya melalui pemancar Radio Surabaya atau Radio Pemberontaknya, berkali-kali menyebut nama KH Noer Alie. Akhirnya, gelar guru pun tergeser dan berganti dengan makna yang sama, Kiai Haji.
Ketika terjadi Agresi Militer, Juli 1947, KH Noer Alie menghadap Jendral Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan bergerilya di Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI. Ia kembali dari Yogyakarta ke Jawa Barat dengan berjalan kaki dan mendirikan sekaligus menjadi Komandan Markas Pusat Hisbullah Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang.
Untuk menunjukkan bahwa pertahanan Indonesia masih eksis, di beberapa tempat MPHS melakukan perang urat syaraf (psy-war). Ia memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di Tanjung Karekok, Rawa Gede dan Karawang untuk membuat bendera Merah Putih ukuran kecil terbuat dari kertas. Ribuan bendera merah putih tersebut lalu ditancapkan di setiap pohon dan rumah penduduk dengan tujuan membangkitkan moral rakyat bahwa di tengah-tengah kekuasaan Belanda masih ada pasukan Indonesia yang terus melakukan perlawanan.
Aksi herois tersebut membuat Belanda terperangah dan mengira pemasangan bendera merah putih tersebut dilakukan oleh TNI. Belanda langsung mencari Mayor Lukas Kustaryo. Karena tidak ditemukan, Belanda marah dan membantai sekitar 400 orang warga sekitar Rawa Gede.
Pembantaian itu sangat terkenal dalam laporan De Exceseen Nota Belanda.,Di sisi lain, dalam peristiwa itu mengakibatkan terbunuhnya rakyat. Di sisi lain lagi, para petinggi Belanda dan Indonesia tersadar bahwa di sekitar Karawang, Cikampek, Bekasi dan Jakarta masih ada kekuatan Indonesia. Sedangkan citra Belanda semakin terpuruk karena telah melakukan pembunuhan keji terhadap penduduk yang tidak berdosa.
Pada tanggal 29 November 1945, terjadi pertempuran sengit antara pasukan KH Noer Alie dengan sekutu di Pondok Ungu. Pasukan yang sebelumnya telah diberi motifasi juang seperti puasa, doa hizbun nasrf, ratib al-haddad, wirid, shalat tasbih, shalat hajat, dan shalat witir, lupa dengan pesan KH Noer Alie agar tidak sombong dan angkuh. Melihat gelagat yang tidak baik, KH Noer Alie menginstruksikan seluruh pasukannya untuk mundur. Sebagian yang masih bertahan akhirnya menjadi korban di pertempuran Sasak Kapuk.
Menolak Jadi Bupati
Kecintaannya terhadap dunia pendidikan membuat KH Noer Alie berinisiatif membentuk Lembaga Pendidikn Islam (LPI) bersama KH Rojiun. Salah satu programnya adalah mendirikan Sekolah Rakyat Islam (SRI) di Jakarta dan Jawa Barat. Di Ujung Malang, KH Noer Alie kembali mengaktifkan pesantrennya dengan SRI sebagai lembaga pendidikan pertama. Pada bulan Juli 1949 KH Noer Alie diminta oleh Residen Jakarta, Muhammad Moe’min untuk menjadi Bupati Jatinegara. Teringat pesan Syeikh Ali al-Maliki agar tidak menjadi pegawai pemerintahan, maka KH Noer Alie pun menolak dengan halus tawaran tersebut.
Paska perang kemerdekaan perjuangan KH Noer Alie terus berlanjut dalam bidang politik, pendidikan, dan sosial. Pada tanggal 19 April 1950, ia ditunjuk sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara. Peran politik KH Noer Alie cukup besar dalam perjuangan pergerakan Republik Indonesia. Terutama untuk wilayah Bekasi. Ia juga tecatat sebagai salah seorang yang membidani lahirnya Kabupaten Bekasi yang sebelumya bernama Kabupaten Jatinegara.
Setelah LPI tidak aktif, maka pada tahun 1953 ia membentuk organisasi sosial yang diberi nama Pembangunan Pemeliharaan dan Pertolongan Islam ( P3I ) yang selanjutnya berganti nama menjadi Yayasan Attaqwa. Yayasan P3I adalah induk dari pendidikan SRI, pesantren, dan kebutuhan umat Islam lainnya.
Kemudian, pada 1954 KH Noer Alie menginstruksikan kepada KH Abdul Rahman untuk membangun Pesantren Bahagia yang murid-murid pertamanya adalah lulusan Sekolah Rakyat Islam (SRI) Ujung Malang , berjumlah 54 orang. Setelah dinilai mandiri, pada 6 Agustus 1956 Yayasan P3 telah mendapat pengakuan secara hukum melalui Notaris Eliza Pondang di Jakarta.
Pada pemilu 1955, Masyumi Bekasi memperoleh suara terbanyak berkat kemahiran politik dan kharisma KH Noer Alie. Atas dasar itu, ia ditunjuk Masyumi Pusat sebagai salah satu anggota Dewan Konstituante pada bulan September 1956. Saat aktif di pusat, ia pun hadir dalam Muktamar Alim Ulama Seluruh Indonesia di Palembang pada 8-11 September 1957 yang dihadiri lebih dari seribu ulama dari Aceh hingga Papua. Di sini, KH Noer Alie diangkat sebagai anggota Seksi Hukum Majelis Permusyawaratan Ulama Indonesia.
Setelah redupnya kejayaan DPP Masyumi dan diproklamirkannya Pemerintahan Revolusioner Republik Inonesia (PPRI) yang didirikan untuk menandingi Pemerintah Pusat. Untuk melindungi umat agar tidak terombang-ambing oleh kekuatan luar yang tidak baik, KH Noer Alie bergabung dengan Badan Kerjasama Ulama- Militer (BKS-UM) dan ia diangkat sebagai anggota Majeis Ulama di Resimen Infanteri 7/III Purwakarta. (stw)