Operasional kereta rel listrik (KRL) atau Comutter Line sekarang ini mengingatkan kita pada kejayaan atau kemasyhuran Batavia di dunia perkeretaapian pada 1924 yang beroperasi di atas rel menghubungkan Stasiun Meester Cornelis-sekarang dikenal dengan Stasiun Jatinegara menuju Stasiun Tandjoeng Priok (Tanjung Priok).
Bahkan kemajuan perkeretapian di Batavia zaman itu mencapai puncak kemasyhurannya dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Bahkan, Belanda sekalipun.
Operasional kereta api listrik oleh perusahaan kereta api negara atau Staatsspoor en Tramwegen (SS) di Batavia, dilakukan bersamaan dengan peresmian sejumlah stasiun lama yang sudah direvitalisasi.
Stasioen Meester Cornelis dan Stasioen Tandjoeng Priok merupakan dua di antara stasiun yang direvitalisasi itu.
Meester Cornelis pada 1925 masih masyhur (terkenal) sebagai area permukiman serta perdagangan. Sementara itu, Tandjoeng Priok, merupakan pelabuhan penting yang disinggahi kapal-kapal dari seluruh dunia.
Penumpang yang akan bepergian, menjadikan kapal sebagai moda transportasi penting pada masa itu.
Demikian pula pengiriman sebagian besar hasil bumi dari berbagai pelosok Nusantara, dimulai dari Tandjoeng Priok.
Tidak salah. Pemerintah Belanda memilih kereta api sebagai angkutan penumpang dan barang yang penting di Pulau Jawa dan Sumatera.
Perkembangan perkeretaapian pun digenjot untuk mendorong perputaran ekonomi dan mempercepat pergerakan orang.
Setelah kereta api uap dan kereta api diesel beroperasi, Pemerintah Belanda mulai memikirkan pengembangan kereta api listrik.
Ketua Komunitas Sejarah Perkeretaapian Indonesia, W. Widoyoko, dalam presentasi Sejarah Elektrifikasi Jalur Jakarta-Bogor, pertengahan Agustus 2014 di Stasiun Jakarta Kota, mengemukakan, studi tentang pembangunan infrastruktur kereta listrik sudah dimulai pada 1911 dan dikerjakan oleh Ir. Damme.
Pada 1917, Directeur van Gouvernementsbedrijven (semacam Departemen BUMN Hindia Belanda) Ir. PA Roelofsen menyerahkan proposal elektrifikasi kereta api di Pulau Jawa.
Sumber listrik menjadi prioritas pertama dari rencana elektrifikasi kereta api di Pulau Jawa tersebut.
Krisis Energi
Dikemukakan pula, sumber tenaga listrik menjadi sangat vital karena akan menjamin perputaran roda besi kereta listrik.
Jika sumber energi listrik ini tak diamankan, bukan mustahil akan terjadi krisis energi yang berimbas pada berhentinya operasional kereta.
Dari publikasi yang diterbitkan Unit Pusat Pelestarian, Perawatan, dan Desain Arsitektur PT Kereta Api Indonesia, arus listrik yang dipasok harus stabil dan memenuhi standar untuk menjalankan kereta listrik dengan baik.
Keberadaan gardu induk atau yang dahulu disebut Pusat Tenaga Listrik (PTL) ini harus mampu mengubah tegangan listrik dari pembangkit listrik sebesar 6.000 volt bolak-balik (AC) menjadi 1.500 volt searah (DC).
Listrik yang dihasilkan PTL ini lantas dialirkan melalui kabel listrik aliran atas (LAA) yang dipasang di atas jalur rel.
Listrik dari kabel LAA ini dialirkan ke kereta lewat pantograf. Pada sistem kereta listrik, tegangan listrik juga diubah menjadi energi yang berfungsi untuk memutar motor listrik. Motor listrik inilah yang membuat roda besi bergulir di atas rel.
Dalam laporan tahunan SS pada 1916-1918, rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sudah direncanakan sejak 1916.
PLTA itu, menurut rencana, dibangun di Sungai Ciantan dan Sungai Cimandiri. SS juga membentuk unit baru bernama Waterkracht Bereau atau Biro Tenaga Air.
Sedangkan Batavia mengenal energi listrik sejak 1897. Hal itu ditandai dengan peresmian operasional jaringan listrik swasta, yaitu Nederlandsch Indische Electriciteit Maatchappij (NEIM).
Sebelum KRL beroperasi, energi listrik sudah dikenal di sektor transportasi dengan adanya trem listrik di jalur utama Batavia.
Operasional trem listrik di Batavia dimulai pada 1899 oleh perusahaan Batavia Electrische Tramweg. Setelah keberhasilan beroperasinya trem di Batavia, pemerintah pada masa itu mulai merencanakan kereta listrik.
Apalagi kereta listrik memiliki akselerasi yang lebih cepat dibandingkan dengan lokomotif uap. Kebutuhan ini penting, terutama untuk kereta perkotaan yang memiliki jarak stasiun relatif dekat.
Cepat Terealisasi
Setelah menyerahkan proposal elektrifikasi pada 1917, detail rancangan elketrifikasi jalur kereta api Batavia Buitenzorg (Bogor) disusun pada 1920.
Tiga tahun berikutnya, parlemen Belanda mengesahkan anggaran pembangunan elektrifikasi dari Stasiun Meester Cornelis–Tanjoeng Priuk.
Pengesahan ini menandai dimulainya pembangunan. Pemesanan material dan pengerjaan sipil pun dilanjutkan.
Pada 1923, PLTA Oebroeg selesai dibangun. PLTA ini terletak di Cikoneng, Sukabumi. Sungai Citatih dibendung dan airnya digunakan untuk menggerakkan generator di PLTA itu.
Ada dua turbin utama yang beroperasi pada 1923 dan satu turbin lagi pada 1939. Berbekal produksi listrik 11,8 megawatt dengan tegangan13,2 megawatt ampere, PLTA ini menjadi pemasok utama listrik untuk kereta listrik jurusan Meester Cornelis-Tanjung Priok.
Listrik dari Oebroeg dialirkan ke dua gardu induk, yakni di Ancol dan Jatinegara.
Lokomotif listrik lantas beroperasi menggantikan lokomotif uap untuk menarik rangkaian kereta. Selanjutnya, kereta rel listrik (KRL) mulai muncul dan beroperasi di Batavia.
KRL, tidak lagi memiliki lokomotif. Mesin penggerak roda dan sistem elektronik KRL terletak di bagian bawah rangkaian KRL.
Tidak berhenti pada operasional kereta listrik. Jatinegara-Tanjung Priok, Belanda menambah jalur kereta listrik. Kali ini, jalur yang dibangun adalah Jatinegara-Pasar Senen-Kemayoran-Tanjung Priok.
Setelah itu, jalur diperluas Tanjung Priok-Jakarta Kota-Gambir-Manggarai-Jatinegara. Pada 1926, parlemen Belanda mengesahkan pembangunan jalur elektrifikasi Jakarta-Bogor. Tahun 1930, jalur kereta listrik Jakarta-Bogor selesai.
Untuk mendukung bertambahnya jalur kereta listrik, satu PLTA dibangun lagi, yakni PLTA Kratjak. Pada 1926, PLTA yang memanfaatkan sumber air dari Sungai Ciantan itu mulai beroperasi. Aliran listrik dari PLTA ini menjadi tenaga penggerak kereta listrik Manggarai-Bogor.
Rencana yang Tak Sampai
Sebenarnya, jalur kereta dengan elektrifikasi yang direncanakan Belanda tak hanya sampai Bogor, tetapi dilanjutkan ke Sukabumi hingga Bandung.
Demikian pula dengan jalur kereta listrik dari Jakarta juga dirancang menuju Purwakarta hingga Bandung. Surabaya dan Malang.
Sayangnya, rencana ini belum ada yang terwujud hingga 70 tahun Republik Indonesia Merdeka. Padahal, banyak negara saat ini yang ambisius mengembangkan kereta listrik perkotaan hingga kereta cepat antarkota dan antarnegara.
Baru tahun 2015 lalu, Pemprov DKI Jakarta ( Batavia-dulu) mulai membangun kereta listrik bawah tanah (subway) dari Pondok Labu-Bundaran HI dan akan membangun kereta cepat Jakarta-Bandung yang dimulai tahun 2016 ini.
Di Jabodetabek, jalur KRL kini membentang dari Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi. Menyusul pembangunan jalur kereta Gambir-Bandara Soekaerno Hatta. Walau baru wacana.
Executive Vice President Pelestarian, Perawatan, dan Desain Arsitektur PT KeretanApi Indonesia (PT KAI), Ella Ubaidi mengatakan, semua jalur KRL adalah peninggalan Belanda.
Hampir semua jalur yang dibangun setelah kemerdekaan adalah jalur ganda, tetapi trase awal semua adalah peninggalan Belanda.
Ada beberapa jalur KRL yang masih berupa jalur tunggal, yakni Parungpanjang-Maja. Meskipun mundur satu tahun dari rencana semula, elektrifikasi antara Parungpanjang-Maja akhirnya diresmikan pada 18 April 2013 yang lalu, bersamaan dengan operasional jalur ganda Serpong-Parungpanjang.
Selain itu, jalur Duri-Tangerang juga sudah berupa jalur ganda. Sedangkan jalur KRL Citayam-Nambo dibangun Pemerintah Indonesia pada 1991. (DDJP/stw/df)