Di Jakarta, setelah peristiwa G 30 S/PKI yang populer disebut Gestapu mulai beroperasi bus kota bermerk Robur.
Bus tersebut dirancang khusus untuk beroperasi di daerah panas.
“Ingat nggak,” kata Untoro.
“Lantas?” tanya Rusman ingin tahu.
“Sebab, kaca-kaca jendelanya tak ada yang bisa dibuka. Padahal, bus tersebut tidak dilengkapi fasilitas AC,” kata Untoro.
“Rutenya mana saja waktu itu ya?” nyeletuk Rusmin.
“Salah satu rutenya adalah Salemba, depan Fakultas Kedokteran UI menuju Rawamangun lewat Utan Kayu,” jawab Untoro yang merupakan alumnus IKIP Rawangun.
“Suatu hari, kira-kira jam 10.00 pagi, sebuah Robur meluncur dari Rawamangun menuju Salemba. Kebanyakan, penumpangnya mahasiswa UI dan IKIP yang berangkat kuliah. Tapi dari Salemba, penumpangnya tidak terlalu banyak,” lanjut Untoro.
“Menjelang pintu gerbang lapangan golf yang waktu itu orang menyebutnya lapangan Inggris, di dalam bus yang panas dan pengab itu tercium bau tak sedap. Para peumpang menutup hidung dan tak mau menuduh, dan tak ada yang dituduh. Karena terlalu riskan menuduh seseorang terhadap masalah yang cukup sensitif tersebut,” ungkap Untoro.
“Terus?” tanya Salman.
“Tanpa komando, seluruh penumpang yang rata-rata mahasiswa UI dan IKIP yang kampusnya berdekatan itu turun semua. Setelah semua penumpang turun, sopir bus berteriak keras-keras. “Heiiii….hei..!!. Yang tadi kentut belum bayar,…..!!” ungkap Untoro.
Tak lama kemudian, salah satu penumpang yang sudah berjalan agak jauh berbalik ke arah bus sambil berteriak.
“Apa lu bilang!? Enak saja, gue udah bayar tadi..!” kata orang tersebut.
Dari dalam bus, sopir tertawa dan berteriak.
“Emang enak……. lu gua jebak. Lain kali, jangan kentut di bus gue !” kata si sopir sambil terkekeh-kekeh. (stw)