Belakangan, kasus kekerasan seksual terhadap anak masih saja terjadi. Kita miris, karena kejahatan itu terjadi di dalam lembaga-lembaga pendidikan. Seperti sekolah berasrama atau yang menyerupai pesantren.
Padahal, perangkat undang-undang untuk mencegah dan menjerat para pelaku kekerasan seksual di Indonesia sudah lebih dari cukup lengkap. Namun, kenapa kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak seakan tidak ada habisnya.
Pemerintah sebenarnya sudah menetapkan darurat kekerasan seksual anak tahun 2014 dan mengeluarkan gerakan bersama melalui Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Anak.
Gerakan itu didorong dengan Instruksi Presiden Nomor 5/2014 yang menginstruksikan kepada para menteri, jaksa agung, gubernur dan walikota/bupati untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak.
Gerakan itu juga melibatkan seluruh unsur masyarakat dan dunia usaha. “Namun eskalasi kekerasan seksual, khususnya terhadap anak perempuan cenderung meningkat,” ujar Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Ranny Maulani pada 8 Februari 2024.
Ia juga menyatakan keprihatinan mendalam dengan maraknya tindak kekerasan seksual terhadap anak tersebut.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Rany Mauliani. (dok.DDJP)
Di lain pihak, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Anak Indonesia Eva Devita Harmoniati angkat bicara dalam Seminar Awam Cegah Kekerasan Sekual Pada Anak yang diikuti secara daring di Jakarta.
Eva menuturkan, bentuk kekerasan seksual pada anak tidak selalu berupa pemerkosaan, tidak selalu berbentuk incest, dan sodomi. Tetapi bisa berupa bujukan atau paksaan untuk terlibat aktivitas seksual.
Eva menuturkan, seorang anak terbujuk untuk melihat dan terstimulasi ikut dalam kegiatan seksual seperti melalui perabaan, juga termasuk dalam kekerasan seksual.
“Karena itu, orangtua harus dapat memahami, kejahatan seksual pada anak lainnya juga dapat berupa ekploitasi sekual komersial melalui video atau film pornografi yang melibatkan anak-anak dalam visual atau audionya serta perbudakan seksual, perdagangan anak hingga pernikahan paksa,” ungkap dia.
Karena itu, sambung Eva, para tokoh dan pemerhati anak meminta kepada masyarakat untuk berani melaporkan tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Keberanian korban dan keluarga untuk melaporkan pelaku yang tidak lain adalah sosok ayah perlu mendapat apresiasi sekaligus mendorong keluarga lain untuk berani melaporkan pada aparat kepolisian.
“Tanpa berani bersuara, pelaku akan terus melakukan aksi bejatnya. Dan, secara psikologi, anak-anak akan terus mendarita. Bhkan bisa menjurus pada keputusasaan sampai ke ingin untuk bunuh diri,” tukas Eva. (DDJP/stw/rul)