Harga beras yang meroket belakangan ini menuai respon dari masyarakat. Terlebih beberapa hari ke depan memasuki bulan suci Ramadan. Kebutuhan sembako untuk konsumsi masyarakat cenderung meningkat.
Menanggapi situasi kondisi tersebut, Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Munir Arsyad mengatakan, telah banyak menerima keluhan guru-guru non aparatur sipil negara (ASN) karena harga beras yang semakin mahal.
Menurut Munir, kenaikan harga beras yang tak terkendali itu mengancam dapur rumah tangga para guru non ASN di Jakarta.
Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Munir Arsyad. (dok.DDJP)
“Soal harga beras ini, guru-guru non ASN di DKI ini pada menjerit. Beras yang biasanya 5 Kg Rp. 60.000, sekarang udah lebih dari Rp 90.000,” ujar Munir, Selasa (5/3).
Setiap hari, ungkap dia, selalu menerima keluhan guru non ASN terkait harga beras. Untuk menyiasati agar tetap bisa makan bersama keluarga, para guru menyiasatinya dengan membeli beras murah atau beras campuran.
Strategi membeli beras murah berbagai jenis untuk dicampur justru yang sesuai harapan. “Ini cerita dari guru-guru nih ke saya. Udah mahal, berasnya aneh. Nggak bagus. Pagi dimasak, malam udah basi. Itu harga dari pasaran. Itulah jeritan masyarakat,” beber Munir.
Jeritan hati guru non ASN soal harga beras mahal itu, sambung Munir, seolah bertolak belakang dengan bayangan semu tentang kesejahteraan masyarakat Jakarta.
Masyarakat daerah lain selalu beranggapan bahwa warga Jakarta sudah di posisi tingkat kesejahteraan yang baik.
Karena itu dia meminta Pemprov DKI segera berupaya menstabilkan harga beras di pasaran. “Ini Jakarta katanya rakyatnya sejahtera, makmur nyatanya sama dengan yang di daerah pelosok. Kalau Jakarta itu barometer kesejahteraan, ayo donk sejahterakan dulu rakyatnya. Minimal urusan perutnya terpenuhi dengan mudah dan murah. Kalau di Jakarta guru-guru non ASN dan ibu-ibu menjerit, gimana di daerah lain,” pungkas Munir. (DDJP/bad/gie)