Hakim konstitusi adalah negarawan yang diharapkan mampu menjaga muruah konstitusi. Karena itu pula, semestinya seorang hakim konstitusi netral dan tidak berada dalam pusaran konflik kepentingan.
Hakim tersebut juga harus bebas dari anasir-anasir yang bisa memicu konflik kepentingan. Apalagi saat sedang memutus perkara. Dengan dalih apapun.
“Bukan hanya Mahkamah Konstitusi (MK) yang sepertinya tidak jemu bermain dengan konflik kepentingan. Di lingkungan kerja perusahaan dimana kita kerja juga sering terjadi konflik kepentingan. Atau paling tidak, menyerempet-nyerempet dengan konflik kepentingan tersebut,” Komentar Sumardi.
“Kamu bisa ngomong begitu, contohnya apa?” tanya Kamsul.
“Itu terlihat saat bos kita mendorong Syuman untuk menjadi hakim saat mengadili kita dalam sidang perselisihan hasil pemilihan pengurus organisasi tenaga kerja (OTK) yang melibatkan mantan pengurus lama OTK yang banyak ditolak anggota untuk kembali menjabat Ketua OTK. Bos mendalilkan Syuman yang merupakan salah satu pengurs lama agar roda organisasi ke depan berjalan lancar.Itu disebabkan ada tiga panel dalam sengketa perusahaan dengan perusahaan lain,” kata Sumardi.
“Memang, kita tidak meragukan integritas seorang Syamsul. Kita sangat yakin dia punya sikap kepemimpinan dan memiliki integritas yang bisa memisahkan kepentingan kelomok dan pribadi. Apalagi, dia juga telah disumpah untuk selalu obyektif dan taat pada konstitusi,” nyeulak Sudardi.
“Kita angkat topi untuk ikhtiarnya menjauh dari tarikan konflik kepentingan. Sayangnya, sebagai institusi justru bos ingin membawa Syamsul ke tengah pusaran kepentungan. Dengan dalih efesiensi. Seolah hendak mengabaikan bahwa persoalan utama yang membuat lembaga itu kehilangan kepercayaan ialah lekatnya konflik kepentingan,” tutur Kamsul.
“Alasan teknis seharusnya tidak boleh mengaburkan prinsip besar. Yaitu mejaga netralitas dan menjauh dari konflik kepentungan,” kata Sumardi.(DDJP/stw)