‘Jalan Damai dalam Sastra’

May 15, 2024 11:08 am

Sastra sebagai gerakan telah menjadi momok bagi pemerintahan sewenang-wenang, diktator, atau antidemokrasi. Itulah, kenapa memiliki tujuan, membangun ciri khas, dan menyebarkan pengaruh telah diupayakan sedemikian hati-hati.

Sastra sejatinya adalah jalan penengah, sebuah wilayah paling privat yang biasa dimiliki setiap orang.

“Sastra mengembangkan diri lewat cara sebaliknya, dengan membuka pada dunia,” Dulloh memulai buka suara kepada teman-temannya usai menghadiri sarasehan kesusasteraan di Taman Ismail Marzuki (TIM) di halaman kampusnya.

“Secara umum, seperti pernah diutarakan sastrawan Sapardi Djoko Damono, kita menggolongkan dalam dua bagian. Kiri dan kanan. Sastra kiri, seturut definisi fleksikal, menyiratkan gerak tak sabar, masif, dan memberontak. Mereka menamai diri sabagai aliran sosialis, berpijak pada keinginan orang banyak. Gerakan sastra kiri ini bukanlah sejenis genre, yang dengan metode itu sastra digolongkan seturut sifat yang melingkupi. Gerakan sastra kiri beraliran politis,” Jujun Jumhana menjelaskan.

“Kok bisa begitu. Bagaimana ceritanya,?” tanya Syamsuddin.

“Sebab, saat yang tak terucap diletakkan di bawah cahaya. Ia politis,” terang Jujun Jumhana.

“Terus yang tak terucap?” tanya Syamsuddin kembali.

“Yang tak terucap adalah definisi untuk keinginan terpendam. Jauh terpendam dan lama, dari para penggerak sastra yang menanti datangnya perubahan,” kata Jumhana.

“Lalu, sastra kanan yang bagaimana ?” kini Linggom yang bertanya.

“Jalan damai dalam sastra. Dengan demikian, lebih terlihat dalam kelompok sastrawan yang terrakhir ini. Mereka masih setia pada apa yang terjadi. Dengan segenap kedewasaan mereka membangun keyakinan pada kemanusiaan. Leo Tolstoi (1828-1910), seorang yang pada masanya dahulu adalah pelaku peperangan, menggambarkannya dengan tegas pada sebagian besar karya tulisnya. Dalam cerita pendek berjudul ‘Tuhan Mahatahu, Tapi Menungu’ (God Secs the Thruth, But Waits) ,keyakinan kelompok kiri demikian tak tergoyahkan, kedati kebenaran akan terjawab di ajal,” terang Jujun Jumhana.

“Gelombang damai juga digelorakan dalam karya-karya penulis Jerman, Gunters Grass (1927-2015), terilhami sebagian besarnya dari tragedi berkepanjangan di kamp konsentrasi Nazi. Sebagai kelompok kiri, Grass mengambil peran oposan. Perang telah mrncari jalan pemecah ,kebuntuan, dan berdamai menawarkan sikap anti perang.Kaum pasifis yang hidup di zaman kita alami kali ini juga mencari bentuk keseimbangan dan penyelamatan imbas krisis keturunan ras Slav di Eropa Timur. Sastra kiri mengambil alih fungsi penyeimbang dengan jalan yang tak diizinkan oleh kelompok sastra kanan. Tradisi kepatuhan, dan iman melarang kelompok kanan, di sisi lain adalah para nasionalis yang loyal,” Jujun melanjutkan.

“Kita semua berdoa. Mudah-mudahan, kelompok kanan, kelompok kiri,dan oposisi di negeri ini mampu mewujudkan karya nyata untuk bangsa dan negara demi kesejahteraan bersama .Bukan sekedar gerakan dalam sastra. Ingat, apakah jadinya Chairil Anwar jika saja tidak bertemu HB Jassin ? Meski dengan penuh keyakinan, Khalil Gibran mengatakan; “ Pabila kau menyanyikan keindahan, atau walau sebatangkara di tengah padang sahara, ada, ada yang mendengarkannya”. Melalui karya mereka, insya Allah akan tercipta karya besar yang dapat mengantarkan bangsa, negara lebih maju dan mensejahterakan rakyat. Jangan lagi berpolemik berkepanjangan. Gitu aja kok repot,” kata Iskandar sambil ngeloyor pergi meninggalkan teman-temannya. (DDJP/stw)