Gereja Katolik Santa Maria De Fatima, Jejak Sang Kapitan Bermarga Tjioe

December 12, 2024 11:02 am

Gedung Gereja Santa Maria de Fatima berada di Jalan Kemenangan III Nomor  47, Glodok, Jakarta  Barat. Banyak orang mengira bahwa bangunan paling depan yang dijaga dua patung singa itu adalah satu dari lima bangunan berarsitektur China yang didirikan awal abad ke-19.

Tidak demikian, bangunan paling depan itu dalah pintu gerbang dengan ruang jaga dan ruang pemujaan. Dulu, setelah melintas pintu gerbang ini, terdapat lahan terbuka berlantai batu pipih segi empat.

“Sebagian lahan dibuat taman. Pada bulan-bulan tertentu, lahan ini bisa berfungsi sebagai arena tontonan atau pesta terbatas kalangan elite China,” urai Pastor Yonas SX (Serikat Xaveria), pastor di gereja itu, Sabtu (30/11/2024).

Ya. Gereja itu dulunya kompleks rumah seorang kapitan pada era Batavia bermarga Tjioe, seperti disebut Adolf Houken SJ, dalam bukunya, Gereja-Gereja Tua di Jakarta (Yayasan Cipta Lokacaraka–Jakarta 2004).

Heuken tidak menjelaskan siapa nama sang kapitan tersebut. Setelah dijadikan bangunan gereja, lahan terbuka di antara pintu gerbang luar dan pintu depan bangunan utama, dijadikan gedung gereja.

“Karena pintu depan rumah utama dijadikan altar dan diletakkan tabernakel,  pintu depan dilepas dan diganti tembok. Pintu baru dibuat disisi kiri dan sisi kanan altar dengan dua daun pintu berasal dari pintu lama di tengah,” ungkap Yonas.

Bagian bangunan rumah utama berlantai dua sang kapitan dan rumah lain di bagian belakang, kini menjadi pastoran (tempat tinggal para pastor).

“Kabarnya, salah seorang keluarga setingkat cucu dari istri pertama kapitan adalah keluarga terakhir yang tinggal di sini, di rumah bagian belakang. Seorang perempuan, anggota  keluarga ini, kabarnya menjadi biarawati Ordo Ursulin,” kata Yonas.

Yonas mengatakan, bangunan di sayap kiri dan sayap kanannya merupakan rumah utama yang dulu tempat tinggal belasan selir sang kapitan.

Kini bangunan tersebut dijadikan ruang pertemuan Dewan Paroki dan aula untuk bermacam kegiatan gereja. Lantai dua rumah utama sang kapitan itu menjadi ruang kerja dan tempat tinggal Yonas.

Dari sana,  jelaslah rumah utama didirikan di tengah bangunan memanjang berbentuk tapal kuda yang adalah rumah para selir (di sayap kiri dan sayap kanan), serta bangunan belakang tempat kediaman kerabat lain sang kapitan.

“Dari lantai dua ini, menghadap ke belakang, tampak taman dan rumah tinggal kerabat sang kapitan. Menghadap ke depan akan tampak lahan terbuka tadi. Sang kapitan juga leluasa bisa memonitor para selir,” tutur Yonas.

Ornamen

Di bagian bawah pintu besar belakang di lantai dua, tampak ukiran besar buah delima (Punica granatum)

”Bagi orang China, buah delima merupakan lambang kesuburan satu keluarga. Dalam satu buah delima, terdapat banyak biji dan daging buah itu diibaratkan satu keluarga yang beranak pinak banyak,” tutur Lioni Idris (72), anggota jemaat gereja  itu yang menjadi pendamping ibadah gereja berbahasa Mandarin, Minggu malam.

Buah delima, kata dia, juga melambangkan kemasyhuran, martabat, kehormatan, dan keberhasilan. Hampir di setiap siku atas tiang besar rumah sang kapitan dihiasi ornamen awan.

Ornamen di tiang-tiang atau pintu gerbang dan pintu masuk rumah utama (kini altar gereja) lebih kaya. Tiang-tiang itu berornamen empat macam bunga yang populer di China.

Keempat bunga itu adalah bunga musim semi (ebony)bunga musim panas (teratai), bunga musim gugur (krisan atau seruni), dan bunga musim dingin (plum)

Semua bermakna. Selain ukiran keempat bunga itu, ada ukiran buah lain. Buah persik, lambang pernikahan, umur panjang, dan keabadian.

Ornamen rumah sang kapitan ini didominasi motif flora ketimbang fauna. Oleh karena itu, rumah ini tidak semewah rumah sejumlah kapitan China lainnya di Jakarta pada era Batavia.

Bandingkan misalnya dengan rumah Kapitan Shouw Beng Kong di Jalan Perniagaan Raya, Jakarta Barat, atau  rumah Mayor Khouw Tjeng Tjoan dan Khouw Tian Sek di Jalan Gajah Mada Nomor 188, Jakarta Barat.

Ornamen di kedua rumah petinggi China itu lebih ramai dengan motif fauna dan flora. Buku AJ ( Keuskupan Agung  Jakarta 2010, Perjalanan Gereja Katolik di Jakarta, Penerbit Keuskupan Agung Jakarta,2012) menyebutkan, kedua patung singa di halaman depan gereja adalah patung singa jantan dan betina yang bermakna menjaga rumah, melambangkan kebangsawanan si pemilik rumah.

Di pelisir atap tampak tiga kombinasi warna. Yaitu merah, hijau daun dan kuning emas. Pada pelisir atap terdapat ornamen bunga dan buah-buahan serta tulisan dalam huruf China.

Hiasan bunga dan buah bermakna kedamaian dan kesejahteraan.  Warna merah yang dominan pada kompleks bangunan itu menunjukkan kegembiraan.

Pada bagian pelisir atap bangunan utama, bagian depan terdapat tulisan berhuruf China versi Kanton, Hok  Shau Kang Ning yang artinya rumah kedamaian.

Di pelisir atap bangunan sayap kanan ada tulisan Chuan Chau Fu, diperkirakan nama keluarga pemilk bangunan. Pada bagian bubungan atap tertera daerah asal Keluarga Chuan, yaitu di Kabupaten Lam-on, Karesidenan Cuan-ciu (Quanshou),  Provinsi Hokkian, China Selatan.

Di  pelisir atap bangunan belakang tertulis Hok Cia Phin An, yang berarti sekeluarga aman sentosa.

Rumah sang kapitan bermarga Tjioe itu, kata Yonas, dibeli oleh gereja pada tahun 1953. Karena umat bertambah banyak, dua tahun kemudian umat gereja ini lepas dari induk Paroki Gereja Santo Petrus dan Paulus di Jalan Raya Mangga Besar Nomor 55, Jakarta Barat.

Stasi Maria de Fatima berkembang menjadi paroki sendiri. Paroki Toasebio. “Ibadah ekaristi pertama di gereja ini berlangsung tahun 1954,” papar Yonas.

Tahun 1970, para pastor dari Serikat Jesus (SJ) Austria yang membina paroki ini diganti misionaris dari Padang, Serikat  Xaverian. Pada era itu, bangunan gerbang halaman tengah dan pintu depan rumah utama dijadikan satu menjadi bangunan gereja. (stw)