Geliat Bisnis di Batavia, Nostalgia Kota Tua (4)

November 10, 2025 2:39 pm

Pukul 09.00 WIB, Kota Batavia sudah bergiat. Kantor-kantor sudah mulai buka pintu. Jalan-jalan mulai ramai. Hiruk pikuk sehari-hari mulai terasa lagi.

Pegawai-pegawai muda dari berbagai kantor dagang asing, seperti Inggris, Prancis, Jerman, dan Belanda berpapasan di jalan.

Saling tegur sapa dan berhenti sejenak. Bergujing tentang pesta, pertunjukan atau acara bertemu lagi malam nanti. (Lihat B Brommer dalam Relzend door Oost-Indie. Utrecht/ Antwerpen  Het Spectrum, 1979).

Batavia sejak awal sudah menjadi dan dirancang sebagai sebuah kota metropolitan. Penduduknya terdiri dari orang beraneka bangsa.

Kebanyakan, di antara mereka bergerak dalam bidang perdagangan atau profesi lain yang mendukung mata pencaharian tersebut.

Di antara pendatang pendukung itu, warga China menarik perhatian dengan pakaiannnya yang berwarna-warni terang dan kuncir kaum lelakinya. Kerajinan, kegesitan, dan ketekunan kerja orang-orang itu menimbulkan kekaguman.

Pada umumnya, pendatang yang turun dari kapal layar di Pelabuhan Sunda Kalapa hanya bermodal beberapa sen untuk memului hidup baru. Biasanya dalam waktu singkat, mereka sudah dapat melipatgandakan koin-koin recehan itu.

Huru-hara dan pembunuhan massal terhadap orang China di Batavia, seolah terlupakan. Warga China yang kembali ke Batavia setelah Gubernur Jenderal memberikan grasi dan ditempatkan di perkampungan khusus.

Chineese Kamp, kata orang Belanda. Kampung China, kata orang pribumi. Di daerah khusus itu, mereka membangun kembali rumah-rumah dengan arsitektur bergaya China.

Terutama dalam bentuk atap melengkung yang khas dan tata ruang dalam. Lantai bawah bangunan bertingkat dua itu digunakan sebagai tempat usaha.

Sedangkan lantai atas digunakan untuk tempat tinggal pemilik usaha. Tempat tinggal dan tempat usaha cenderung dipisahkan bila pedagang atau pengusaha itu sudah mapan dan berhasil.

Akan tetapi, hampir semua di antaranya memulai karier dengan usaha kecil-kecilan. Salah satu sosok yang tak pernah ketinggalan ada di jalan-jalan Batavia adalah sosok-sosok pedagang kelontong dari China.

Dengan satu tangan, pedagang lelaki itu membawa payung untuk melindungi dari sengatan terik matahari. Tangannya satu lagi memegang alat yang mirip dengan sebuah bedug kecil, terpasang di ujung kayu pada tangannya.

Dua buah tali tergantung dengan bola kayu, tergantung di kiri-kanan bedug itu. Bila alat itu digerakkan, terdengar bunyi ‘tong…tong…..tong…tong’.

Bunyi alat itulah yang mengumumkan kehadiran di jalan dan di depan rumah para calon pembeli. Bunyi alat itu pula yang membuat pedagang seperti itu disebut sebagai ‘pedagang kelontong’.

Seorang atau dua orang kuli mengiringi membawa pikulan yang sarat dengan barang-barang jualan. Gunting, pisau, pita, benang, jarum, korek api, katun untuk bahan pakaian, mainan anak-anak dan sebagainya. (stw/df)