Ada banyak museum di Kota Tua. Meseum Jakarta, Museum Keramik, Museum Wayang, Museum Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, dan Museum Bahari.
Bosan dengan itu, ternyata ada sederet gedung ibadah yang menjadi saksi kemegahan dan keakraban masyarakat yang tinggal di Batavia. Yuk, kita menyusuri gedung-gedung ibadah tersebut. Ada beragam rumah ibadah di Kota Tua.
Masjid
Jika langkah mulai menyusuri Jalan Peniagaan Raya menuju Jalan Tubagus Angke, ada beberapa masjid dan langgar yang sudah berusia lebih dari 100 tahun.
Di tepi Kali Angke, dekat persimpangan Jl. KH Moh. Mansyur Jembatan Lima-Jl. Tubagus Angke, tak jauh dari Jl. Perniagaan Raya, tampak gedung Langgar Tinggi yang dibangun tahun 1833 atau 1249 Hijriyah. Hingga kini, gedung ibadah tersebut masih digunakan untuk ibadah.
Ketika itu, langgar tersebut menjadi tempat favorit bagi pedagang serta awak perahu dan rakit yang datang dari Banten dan Tangerang. Dari sana, mereka membawa bahan-bahan bangunan, beraneka buah dan rempah serta bermacam barang kelontong dan tekstil yang akan mereka jual di Batavia.
Mereka meyusuri Kali Cisadane ke sodetan kali bernama Mookervart (di tepian Jl. Daan Mogot) sebelum masuk ke Kali Angke. Langgar dengan luas lantai dasar 8 x 24 meter ini berada di lingkugan RT. 002 RW. 001, Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Lantai bawah digunakan sebagai tempat wudhu dan tempat penginapan pedagang serta awak rakit dan perahu. Arsitektur langgar berunsur Eropa klasik tampak pada tiang-tiangnya dipadu unsur budaya China pada penyangga balok-balok kayunya dan Jawa pada denah dasarnya.
Tak jauh dari langgar, terdapat masjid tertua di Jakarta yang masih berdiri. Masjid Al-Anshor ( 1648) di Jalan Pengukiran II, juga Masjid Annawar (1760) di Jalan Pekojan Nomor 71. Di seberang Kali Angke di Gang Masjid I, berdiri Masjid Angke atau Masjid Al Anwar (1761) yang dibangun seorang kontraktor China untuk orang Bali yang beragama Islam.
Selain Masjid Angke, ada pula Masjid Kebon Jeruk (1786) yang berarsitek Bali, Belanda, Jawa, dan China. Lokasi masjid ini berada di Jalan Hayam Wuruk Nomor 8 (masih di lingkungan Jakarta Barat, tetapi sudah di luar batas Kota Tua).
Tentang kedua masjid tersebut, penulis banyak buku tentang Batavia, Heoken SJ menyebutkan, orang Belanda menganggap kaum pribumi adalah orang-orang yang tinggal di tanah Jawa. Jadi, orang pribumi itu beragama Islam.
Artinya,tunduk pada peraturan hukum Islam. Maka, orang Bali yang tinggal di tanah Jawa (termasuk Batavia) yang beragama Hindu pun harus tunduk pada hukum Islam. Berbeda dengan orang-orang China yang masuk Islam kala itu. Mereka masuk Islam agar dianggap golongan pribumi. Sehingga mereka bisa bebas dari pajak kuncir rambut dan bebas pajak lainnya yang hanya ditanggung orang China.
Klenteng
Jangan heran jika jumlah masjid di kawasan Kota Tua jauh lebih sedikit daripada jumlah klenteng di sana. Sebab, ada satu masa di era Vereenigde Oostindische Compagie (VOC) atau Persatuan Dagang HindiaTimur, jumlah orang China mendominasi Batavia.
Dari perempatan Jalan Perniagaan Barat-Tambora 8 dan Jalan Perniagaan Raya-Pangeran Tubagus Angke, masuklah ke Jalan Tambora 8 di tepi Kali Opak. Tak berapa lama menyisir jalan tersebut, di sisi kiri jalan akan tampak gapura dengan papan bertulis Kwan Tee Bio d/n Lamceng, Jakarta Barat, pertanda masuk ke kompleks Klenteng Arya Marga atau Nan Jing Miao.
Klenteng dibangun di atas tanah seluas 3.000 meter persegi, dikelilingi 12 rumah petak sewa milik yayasan pengelola klenteng. Klenteng terbagi dalam empat ruang besar. Di ruang belakang ada dua altar untuk menghormati mendiang Kapitan The Liong Hui.
Di atas altar utama disimpan abu dan patung kayu sang kapitan asal Nanjing, Kabupaten Zhanzhou (Fujian) itu. Tahun 1824, Kapiten The membangun kelenteng ini. Karena tidak memiliki keturunan, seluruh kekayaan ia habiskan untuk membangunkan rumah ibadah ini.
Pengelolaan rumah ibadah, ia percayakan kepada Tjung See Gun agar biaya pemeliharaan klenteng terjamin. Tahun 1839 Kapiten The meminta Tjhung membangun 12 rumah petak sewa yang hasil sewanya untuk pemeliharaan kelenteng.
Sepeninggal Tjhung, kelenteng terbengkalai dan menjadi tempat tinggal pengemis. Beruntung, kondisi merana tersebut berakhir bertukar cat kelenteng dibersihkan, dikelola, dan dirawat oleh Kepala Kelenteng Basri Oemar (Oey Sek Hai).
Jika dibandingkan dengan plafon Kekentng Tian Hou atau Wihara Dewi Samodera (1784) di Bandengan Selatan atau dengan Kelenteg Feng-Shan Miao (1751) di Jalan Kemenangan III/48, plafon kelenteng Kapiten Than pasti kalah indah.
Altarnya pun kalah bagus dengan altar yang ada dalam Kelenteng Lu Ban Gong (1784), terletak di Jl. Bandengan Selatan 36. Meski demikian, Kelenteng Arya Marga menjadi satu-satunya klenteng yang dibangun Kapiten China di Batavia.
Pada periode 1812-1847, pembangunan klenteng (Thois) dan wihara (Budhis) umumnya dilakukan kongsi dagang dan lebih banyak ditujukan menghormati dewa dagang atau yang berhubungan dengan perdagangan. Lingkungan klenteng pun sering dijadikan pertemuan untuk membahas rencana bisnis.
Sebelum era ini, klenteng di Kota Tua dibangun dengan berbagai tujuan. Dewa yang diletakkan di altar pun beragam. Tidak didominasi dewa dagang. Kegiatan sosial kemasyarakatan di lingkungan klenteng lebih sering dilakukan daripada pertemuan-pertemuan dagang.
Klenteng Lie Tie-Guai atau Wihara Budhi Dharna di Jalan Perniagaan Selatan, yang terjadi tempat beribadah orang China terpopuler di kawasan Glodok adalah salah satu klenteng yang dibangun untuk dua di antara Delapan Hyang Mulia: Pelindung Kongsi Dagang.
Gereja
Di sudut Jalan Pageran Jayakarta dan Jl. Mangga Dua berdiri megah Gereja Sion. Sebuah mimbar bergaya barok karya H Bruyn (1695) berdiri di tengah altar. Di atasnya terpasang kanopi Gereja Kubah yang juga ada di Kota Batavia, tapi sudah dibongkar Gubernur Jenderal Belanda Daendels tahun 1808.
Pembuatan mimbar bersegi delapan dengan podium ukiran China, Eropa, dan India ini menghabiskan biaya 260 ringgit. Sedangkan biaya pembangunan gereja itu 3.000 ringgit pada tahun 1695. Menghadap altar disebelah kanan, berderet kursi besar berukir buatan pertengahan abad ke-17.
Kursi itu dibuat khusus bagi petinggi VOC, termasuk buat para Gubernur Jenderal Belanda . Di tengah atas, sandaran kursi yang terbuat dari kayu hitam itu, terukir kitab suci. Di salah satu dinding gereja ada batu bertulis dalam Bahasa Belanda yang artinya: Batu pertama gereja ini diletakkan 19 Oktober 1693 oleh Pieter van Hoorn.
Meski menjadi satu-satunya tempat ibadah umat Kristen di Kota Tua, kondisi gereja ini terawat baik dibandingkan dengan semua tempat ibadah bersejarah di Kota Tua. (stw)