Terdapat fenomena miris sejak Reformasi 26 tahun lalu. Sesuatu yangn kalau kita hayati, sanga bertentangan dengan etika dan ruh reformasi itu sendiri.
Reformasi terutama dalam konteks perbaikan negara telah diupayakan sedemikian rupa agar menjadi baik, ideal, demokratis, dan sejalan dengan tujuan negara seperti tertuang dalam Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945.
“Sebelumnya, lembaga-lembaga negara yang tidak sejalan dengan tujuan konstitusi, disempurnakan agar konsisten,” Ujang mengawali obrolan bersama teman-teman pengurus Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) di Pos Keamanan Kelurahan.
“Contohnya apa?” tanya Sodikin.
“Contohnya pada Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi ;” Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kemudian disempurnakan melalui amandemen ketika UUD 1945.
“Implikasinya, bagaimana ?” Sodikin menyela.
”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang undang dasar. Implikasi ayat ini di antaranya terbentuklah sistem dua kamar. Lalu, muncul lembaga baru, yakni Dewan Pewrwakilan Daerah (DPD) sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dan demokrasi, di mana seluruh anggotanya yang otomatis duduk di MPR harus dipilih melalui pemilu. Tetapi, belakangan terjadi ketercelaan moral,” kata Ujang.
“Ketercelaan moral ? Maksudmu ketercelaan moral yang bagaimana?” tanya Sodikin.
“Ketercelaan moral di sini muncul saat Ketua DPD tertangkap tangan (OTT) oleh KPK karena menerima gratifikasi proyek. Karena itu, untuk mewujudkan konstitusi, yaitu UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang terjaga dan agar undang-undang tidak liar, dibentuklah Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Undang-Undang Nomr 24 Tahun 2003. MK lalu berwenang melakukan judicial riview terhadap UUD 1945 sebagai lembaga the bodyguard of constitution di luar kewenangan lain membubarkan partai politik, mengadili sengketa pemilu, dan meng-impachmet presiden dan wakil presiden,”urai Ujang.
“Fenomena atau peristiwa jungkir baliknya para politisi, elite-elite pejabat negara yang mempermainkan etika belakangan ini menurutmu bagaimana ?” Sodikin nyeletuk.
“Politisi atau elite-elite pejabat negara yang mempermainkan etika disebut Rittel dan Weber (1984) sebagai wicked problem (masalah tercela) yang secara ekstens, mencakup wicked politic (politik tercela),“ jawab Ujang.
“Termasuk ‘centang perentang’ gaduh DPR tentang pemilu 2024 yang berujung pada keputusan MK keabsahan Pilpres dan Cawapres pada 22 April lalu, juga dapat dimasukkan kategori wicked problem? Karena memperlihatkan tindakan yang secara prinsip moral bersifat buruk dan tidak etis, seperti apa yang dikemukan Rama Magnis Sesuno?” nyeletuk Sodikin.
“Huuus ! Bukan begitu. Itu hanya salah paham saja terhadap putusan MK.Nggak usah diperpanjang,” ketus Ujang sambil meninggalkan teman-temannya. (DDJP/stw)