DPRD Tampung Masalah Minimnya Jumlah Guru Swasta dan Agama Minoritas

September 27, 2022 5:29 pm

Panitia Khusus (Pansus) Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta terus menginventarisir masalah yang terjadi di bidang pendidikan.

Teranyar, Pansus Pendidikan DPRD DKI Jakarta berhasil menampung masalah yang terjadi mengenai kuantitas guru di sekolah swasta dan guru agama non muslim di banyak sekolah di Jakarta.

Perwakilan Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) DKI Jakarta, Dewi mengungkapkan bahwa beberapa kendala yang dialami pihaknya salah satunya yakni kesulitan mendapat pengganti guru yang telah diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

“Kesulitan lagi untuk merekrutnya, karena kami harus memulai dari nol lagi. Bukan berarti kami tidak membuka lowongan untuk guru muda, namun guru yang sudah senior, yang sudah lama menjadi pegangan kami, yang sudah menjadi andalan kami, tiba-tiba harus ikut pengangkatan PPPK tersebut dan pindah,” ujarnya di gedung DPRD DKI, Selasa (27/9).

Dewi merasa kecewa lantaran guru tersebut telah dibimbing dan dibekali ilmu dengan dana operasional sekolah. Namun ketika diangkat PPPK, para pengajar harus mengabdi di sekolah negeri.

“Kami sudah membesarkan, sudah membimbing, tapi dipertengahan jalan kita harus merelakan mereka pergi. Sehingga kebutuhan di sekolah swasta untuk guru sangat kekurangan,” ungkapnya.

Dewi berharap adanya kebijakan dari Dinas Pendidikan (Disdik) agar guru PPPK yang berasal dari swasta tetap mengajar di sekolah tersebut, sehingga tidak ada penurunan kualitas para pengajar.

Dewi juga meminta dibuatkan payung hukum yang mengatur siswa agar tidak diperkenankan pindah sekolah saat pertengahan semester. Sebab ia mengaku seringkali kehilangan murid yang hanya masuk satu semester saja dan pindah ke sekolah negeri.

“Terkait mutasi di semester dua ini sebenernya sudah berulang-ulang kali hampir menjadi permasalahan di sekolah swasta setiap tahun. Kami berharap agar mutasi semester dua tersebut dihilangkan, jadi diganti pas kenaikan kelas saja,” ucapnya.

Sementara, Forum Komunikasi Guru Agama Hindu Nyoman Udayana mengeluhkan kurangnya tenaga pengajar untuk agama minoritas. Pasalnya saat ini peserta didik dengan agama Hindu-Buddha yang bersekolah di negeri diwajibkan mengikuti pelajaran di tempat ibadah untuk mendapatkan nilai agama, karena tidak tersedianya guru.

“Saat ini ada 11 pasraman atau sekolah agama Hindu-Buddha yang dengan terpaksa dibentuk karena disekolah formal tidak ada guru yang mengajar. Bahkan tidak sampai 10 guru yang mendapat SK (diangkat sebagai PNS). Sedangkan lainnya guru honorer yang dibayar mandiri oleh umat di Pura seluruh DKI,” katanya.

Menanggapi sejumlah keluhan tersebut, Johnny Simanjuntak selaku pimpinan rapat Pansus Pendidikan mengatakan akan segera menindaklanjuti dan mencari jalan keluar terutama mengenai banyaknya guru dari sekolah swasta yang dimutasi ke sekolah negeri ketika diangkat sebagai PPPK.

“Ini sebuah ungkapan yang bagus juga karena sekolah swasta kalau semua guru ditarik ke negeri, maka swasta menjadi tidak berkualitas. Akan berdampak juga bagi bangsa kita. Kita berharap Disdik tidak lagi hanya mengurus sekolah negeri tapi juga mengurus sekolah swasta,” tuturnya.

Terkait kurangnya ketersediaan guru agama Hindu-Buddha di sekolah negeri yang selama ini dikeluhkan, Johnny berjanji akan segera direkomendasikan untuk diatur dalam revisi Perda Pendidikan yang tidak lama lagi akan dibahas oleh Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI.

“Ini juga harus jadi perhatian. Di revisi Perda Pendidikan nanti, harus kita wajibkan supaya Pemerintah dalam hal ini Pemprov DKI menyediakan segala guru dari berbagai macam agama, berapapun mereka jumlahnya, karena dia mempunyai hak yang sama seperti murid lain,” ungkapnya.

Sedangkan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nahdianah menjelaskan tidak lengkapnya guru agama di sekolah negeri karena mengacu pada Peraturan Menteri Agama RI Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama di Sekolah yang menyebutkan bahwa apabila siswa atau siswa yang seagama kurang dari 15 orang, maka sekolah tidak diberikan guru.

“Ini menjadi dasar kita menghitung jumlah peserta didik yang seagama, kalau dalam sekolah itu ada 15 maka diadakan dalam satu kelas. Jadi patokannya adalah 15,” tandasnya. (DDJP/gie)