Minat masyarakat untuk menggunakan moda transportasi umum masih minim. Ini terjadi, tidak terlepas dari moda trasportasi yang belum terintegrasi. Terutama antara Pemprov DKI Jakarta dengan daerah satelit lainnya.
Meski berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan minat warga Jakarta untuk beralih dari kendaraan bermotor pribadi ke moda transportasi umum. Namun hasilnya belum menggembirakan.
Banyak warga, baik dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi ( Bodetabek) yang menggunakan kendaraan pribadi untuk menuju tempat kerja di Jakarta.
Seperti yang dilakukan Achmad (32), dari Tangerang harus bekerja di Jakarta. Bahkan, profesi di bidang pemasaran produk elektronika, menuntut dirinya harus menjelajahi Jakarta.
“Dalam kesehariannya, saya memang masih menggunakan kendaraan pribadi dari pada angkutan umum. Karena, kalau dihitung-hitung, masih jauh lebih hemat menggunakan kendaran pribadi (motor) dari pada naik transportasi umum,” ujar Achmad, Selasa (20/8).
Ungkapan senada juga diutarakan Ubay Subarna (40) dari Depok. Alasannya, ia harus membonceng istrinya yang mengajar di sebuah SMK di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
“Kebetulan, kami searah. Karena saya bekerja di sebuah showroom mobil di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Apalagi saya juga tak terbiasa naik kereta rel listrik (KRL) yang umpel-umplan pada jam-jam sibuk. Demikian pula, masalah ketepatan waktu angkutan umum di Jakarta masih sulit diprediksi,” beber Ubay.
Menanggapi persoalan itu, Sekretaris Komisi B DPRD DKI Jakarta Wa Ode Herlina Selasa (20/8) mengungkapkan, berdasarkan data Dinas Perhubungan DKI Jakarta, penggunaan sepeda motor masih mendominasi.
Dari 88 juta per jalanan per hari, peguna sepeda motor mencapai 68,3 persen. Sedangkan pengguna kendaraan umum masih sekitar 18,45 persen.
Sekretaris Komisi B DPRD DKI Jakarta Wa Ode Herlina. (dok.DDJP)
“Ketimpangan ini membuat permasalahan lalu lintas, terutama kemacetan, masih terjadi di mana-mana,” kata Wa Ode Herlina.
Kepala Pusat Data Informasi Perhubungan Dinas Perhubungan DKI Jakarta Susilo Dewanto dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi B DPRD DKI beberapa waktu lalu mengemukakan, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 8 disebutkan, untuk mewujudkan sistem transportasi yang efektif, efisien, lancar dan terintegrasi harus memenuhi target 60 persen perjalanan penduduk menggunakan sarana transportasi umum.
“Namun dalam pelaksanaannya, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Antara lain permukiman penduduk dan antarmoda angkutan massal yang belum terintegrasi. Saat ini, pembangunan masih berpihak pada penggunaan kedaraan pribadi dan jalan tol. Namun, secara bertahap sudah mulai terasa hasilnya. Moda transportasi umum Transjakarta sudah terintegrasi dengan KRL dan Jaklingko,”ungkap Susilo.
Di sisi lain, tambah dia, harga rumah di tengah kota juga kian tinggi. Sehingga banyak warga tinggal di pinggiran kota yang tentu akan berdampak pada meningkatnya biaya transportasi.
“Mobilitas terbatas karena sangat bergantung pada kendaraan pribadi dan kondisi lalu lintas. Akibatnya, kemacetan lalu lintas masih saja terjadi. Juga ketidaksetaraan dan degradasi lingkungan,” papar Susilo.
Membatasi Kendaraan Pribadi
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Lupito mengatakan, pemerintah terus berupaya meningkatkan cakupan angkutan umum. Di antaranya dengan meningkatkan jumlah angkutan umum.
Untuk total Bus Transjakarta kini sudah mencapai 4.543 unit. Sedangkan jumlah subsidi pelayanan Trasjakarta juga bertambah dari Rp663 miliar pada 2015, menjadi Rp3,2 triliun pada 2023.
“Untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi, pemerintah melakukan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi dan melakukan pembatasan kendaraan bermotor yang diimplementasikan dalam bentuk ganjil genap. Kebijakan yang diberlakukan tersebut sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Nomor 155 Tahun 2018 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil Genap. Ini diharapkan dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi,” urai Syafrin Lupito.
Dikemukakan pula, ada hal yang lebih efektif mengurangi lalu lintas kendaraan pribadi. Yakni membatasi kepemilikan kendaraan bermotor.
“Di beberapa negara, aturan ini sudah bisa diterapkan dan mampu mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke angkutan umum. Di sisi lain, upaya integrasi moda trasportasi juga terus dilakukan. Selain menambah jumlah angkutan, kerja sama dengan pemerintah daerah satelit juga terus dilakukan. Akan tetapi, proses percepatan integrasi ini masih terkendala anggaran,” tukas Syafrin Lupito. (DDJP/stw/df)