Komisi D DPRD Provinsi DKI Jakarta berharap Pemerintah Provinsi (Pemprov) mencontoh rencana induk pengelolaan ruang bawah tanah di Singapura untuk mematangkan penyusunan Raperda mengenai Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah (RBT).
“Jadi dalam aturan yang ada dalam urban development di Singapura, masterplan-nya sudah jelas. Bagaimana bangunan diatas seperti apa landmark seperti apa dan bangunan bawahnya seperti apa,” ujar Abdul Canter Sangaji, Selasa (30/7).
Ia menyampaikan, dalam hal ini Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait perlu memahami secara komprehensif pemanfaatan yang akan dilakukan. Menurutnya, perlu unsur kehati-hatian dengan memperhitungkan sejumlah aspek untuk mengantisipasi terjadinya hal tak diinginkan.
“Tapi jangan sampai seperti Surabaya, ada beberapa jalan longsor karena pemanfaatan ruang bawah tanah yang tidak terkendali. Inilah yang harus menjadi catatan penting DKI untuk melakukan analisa pemanfaatan RBT ini secara hati-hati,” terangnya.
Dengan demikian, Abdul menyarankan agar SKPD mitra kerja memperbanyak referensi perihal aturan pengelolaan RBT yang berjalan di negara-negara maju. Mengingat, belum adanya pilot project yang konkrit hingga saat ini dalam perjalanan pemanfaatan Ruang Bawah Tanah sebagai kawasan komersil di Indonesia.
Sementara itu, Kepala Dinas Bina Marga Provinsi DKI Jakarta Hari Nugroho menjelaskan pihaknya setuju bahwa Perda RBT perlu diterbitkan sebagai aturan dasar pengelolaan bawah tanah.
Ia menyatakan, pihaknya akan tetap berhati-hati menentukan kriteria kelayakan sebagai lokasi pemanfaatan RBT di DKI Jakarta. Hal ini berdasarkan studi geologis disebutkan kontur tanah DKI Jakarta termasuk dalam kategori tanah berjenis alluvial yang rentan terhadap sejumlah masalah serius secara masif.
“Kalau ini tidak ditangani dengan baik, ini akan menimbulkan dampak yang luar biasa berkaitan dengan land subsidance (penurunan tanah), kemudian rob genangan air, hingga interusi air laut. Masih banyak gejala-gejala ini yang perlu diperhatikan,” ungkapnya.
Karena itu, Hari mengatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan (CKTRP) menghadirkan analisa studi kelayakan pemanfaatan pembangunan untuk dikomparasi dengan Peraturan Gubernur Nomor 167 Tahun 2012 tentang Ruang Bawah Tanah sebagai payung hukum pemanfaatan RBT di DKI Jakarta kepada DPRD.
“Jadi aturan ini perlu kita kolaborasikan sebagai bahan referensi bersama Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan (CKTRP) untuk penataan ruang di. Kita akan bahas dua substansi, penataan ruang diatas tanah dan ruang dibawah tanah, nah ini tentunya harus sinkron. Bangun diatas tapi dibawah juga diatur,” ungkap Hari.
Kemudian, Kepala Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan (CKTRP) Provinsi DKI Jakarta Heru Hermawanto mengklaim sejumlah aturan yang dipersyaratkan dalam Perubahan Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) telah diatur tentang Koefisien Tapak Basement (KTB/KDB).
Ia menyebut aturan tersebut telah menjadi payung hukum definitif dalam pelaksanaan penggunaan basement yang merupakan bagian dari pemanfaatan RBT di gedung perkantoran atau pusat perbelanjaan terkini.
“Jadi sebenarnya di RDTR itu sudah diatur KDB/KTB (Koefeisein Tapak Basement) itu diberikan koridornya boleh dimanfaatkan sampai berapapun dalamnya.Kalau sampai saat ini belum diatur selama tidak berkaitan dengan kekayaan negara adalah milik persil,” terangnya.
Heru menyebut aturan KTB/KDB ini telah mengikat sejumlah persyaratan yang wajib dipenuhi pengembang gedung berkepemilikan basement ataupun berlokasi diatas tanah. Yakni, memiliki izin Gubernur DKI Jakarta berbentuk Perjanjian Kerja Sama (PKS) serta wajib menyerahkan pendapatan penggunaan basement gedung sebagai hasil pendapatan daerah menuju kas Pemprov DKI.
“Jadi itulah mekanisme PKS pemanfaatan ruang dibawah maupun diatas yang kita jalankan hingga saat ini. Sehingga hal-hal lain termasuk perawatan masuk dalam PKS juga dibebankan kepada pengembang, Ini yang sudah kita jalankan selama ini di DKI Jakarta,” tandas Heru. (DDJP/alw/oki)