Djiwa Manis Indoeng Disajang

September 3, 2024 1:04 pm

Mengapa lagu keroncong Terang Boelan memiliki melodi yang sama dengan lagu kebangsaan Malaysia yang berjudul “Negaraku?”. Demikian antara lain pertanyaan yang mengawali beberapa tayangan yang terdapat dalam berbagai video di Youtube.

Ada pula yang menyandingkan dua lagu berbeda itu dalam satu layar dengan judul ”Terang Buan vs Negaraku”.

Itu tidak lain merupakan hasil ‘rebutan’ pengakuan karya seni budaya yang bukan satu-satunya terjadi antara Indonesia dan Malaysia hingga belakangan ini. Boleh jadi, rebutan lagu itu menjadi kasus pertama yang tercatat.

Rebutan lagu itu terjadi bahkan ketika dua negara tersebut belum terbentuk, seperti yang diuraikan buku berjudul Djiwa Manis Indoeng Disayang terbitan Kiblat dan Pustaka Jaya, November 2017.

Pada 1937, jurnalis dan pembuat film Indo-Belanda Alert Baung membuat film berjudul Terang Boelan yang memanifestasikan ketenaran lagu keroncong tersebut.

Benar saja, film tersebut sangat digemari. Rupanya, orang-orang Malaya gusar dengan keadaan itu. Tiga tahun kemudian, muncullah film berbahasa Melayu berjudul Terang Bulan di Negeri Jiran.

Kemudian, pada masa Indonesia telah berdiri dengan sah, terjadi kasus yang mirip. Pada tahun 1950, perusahaan film Tan & Wong Bross membuat kembali film berlatar lagu ”Terang Boelan” dengan pemain utama Raden Muchtar yang juga menjadi pemeran utama di flm berjudul yang sama terbitan tahun 1937.

Tidak mau kalah, perusahaan Kris Film dari Singapura yang ketika itu masih berstatus satu bangsa dengan Malaysia, membuat film berjudul ”Terang Boelan di Malaya” dengan pemeran utama yang sama, Raden Muchtar.

Puncaknya, dalam sebulan itu terjadi pada tahun 1957, ketika “Terang Boelan” dilarang dinyanyikan karena telah menjadi lagu kebangsaan.

Persekutuan Tanah Melayu dengan penggantian pada liriknya dan terus dipakai sebagai lagu kebangsaan Malaysia yang merdeka tahun 1963.

Cerita sengketa lagu tersebur merupakan bagian kecil dari buku Djiwa Manis Indoeng Disayang setebal 381 halaman dalam format buku Diklat karya Pensiunan Dosen ITB Haryadi Suadi.

Beliau wafat dua tahun sebelum bukunya diterbitkan. Buku itu bercerita tentang sejarah musik keroncong genre yang pernah menjadi musik nasional Indonesia.

Tergambar dengan rinci asal mula musik keroncong pada masa Portugis hingga masa awal berdirinya Republik Indonesia.

Banyak nama peyanyi keroncong tempo dulu diulas, termasuk Kusbini, Ismail Marzuki, dan Gesang. Tiga nama itu disebut dengan spekulasi bahwa boleh jadi, merekalah yang masih bisa dikenali generasi milenial.

Sebagian besar nama yang diceritakan bahkan dipastikan asing bagi penyuka musik era 1980-an yang tidak serius dengan musik keroncong.

Buku yang dikerjakan bertahun-tahun itu dengan teliti, menyebut rinci sumbernya. Dalam pegantar bertahun 1915 itu, sang penulis menyebut bahwa hasil risetnya itu akan menjadi buku tiga jilid.

Jilid I tentang musik keroncong. Jilid II tentang membahas jenis-jenis lagu lain. Mulai dari jaz hingga irama hawai. Sedangkan Jilid III tentang dunia musik ketika Indonesia di bawah kekuasaan Jepang.

Melihat kekayaan yang ada dalam buku Jilid I yang berisi perkembangan musik di Indonesia mulai tahun 1920-an hingga pendudukan Jepang, tentu saja tidak berlebihan jika buku tersebut disebut sebagai babon buku sejarah musik Indonesia.

Kontroversi

Buku sejarah musik itu juga bercerita tentang kontroversi di seputar perkembangan awal berkembangnya musik keroncong.

Cerita itu memperlihatkan pro dan kontra terhadap hal baru serta cerita-cerita buruk dan berbagai kekhawatiran terhadap hal baru memang selalu terjadi.

Musik keroncong pernah menjadi musiknya orang jalanan. Musik yang oleh orang-orang berada sangat tidak diharapkan kemunculannya.

Soalnya, ketika para musikus keroncong itu beraksi, maka akan ada noni-noni Belanda yang mereka jatuh ke pelukan orang pribumi atau pun anak-anak keroncong Indo-Belanda yang tentu saja berbeda kelas.

Kontroversi sebagai musik jalanan yang menggganggu ketenangan itu mirip dengan maraknya “breakdace” pada 1980-an.

Ketika itu, anak-anak muda berkelompok-kelompok berpetualang dari wilayah satu ke wilayah lain sekadar memamerkan dan mengadu kemampuan menari dengan jago-jago “breakdance” di wilayah yang didatangi.

Kelakuan anak-anak muda yang berpakaian khas “breakdance” longgar dan kedodoran serta suara musik hingar bingar dari “radiotape” besar yang dipanggul ke mana-mana itu sempat membuat heboh orangtua, bahkan sejumlah agamawan.

Soal lirik musik keroncong yang ’norak’ alias ‘lebay’ juga menjadi perbincangan hangat di media kala itu.

Lirik yang dianggap ’lebay’ itu, misalnya Djiwa Manis Indoeng Disajang’ yang dijadikan judul buku sejarah musik.

Kritik kepada lirik lagu keroncong yang marak pada 1920-an itu bolehlah dianggap sebagai suatu kewajaran, sebagai jalan dari membaiknya perkembangan sebuah genre musik.

Hal yang wajar. Kritik pada lagu-lagu pop juga terjadi pada 1980-an akhir. Ketika itu muncul istilah lagu – lagunya cengeng yang sempat dihambat kemunculannya di televisi.

Buku ini juga justru memperlihatkan berbagai kritik dan perdebatanlah yang membuat sesuatu menjadi makin baik. Termauk membaiknya lirik-lirik lagu keroncong. (DDJP/stw)