Komisi C DPRD Provinsi DKI Jakarta mendukung kebijakan sanksi bagi pelaku usaha penunggak pajak dengan tidak melayani izin yang diajukan.
Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta Ashraf Ali mengatakan, hanya saja Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) perlu memperluas lagi definisi usaha yang akan dikenakan kebijakan tersebut.
“Banyak pelaku usaha yang tidak terdeteksi, contohnya rumah-rumah makan. Kalau bicara rumah makan tidak melulu selalu warteg,” ujarnya, Jumat (5/7).
Pasalnya, menurut Ashraf ada warung makan beromzet puluhan juta rupiah per hari di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Karena hanya diangga sebagai warung makan pada akhirnya usaha tersebut selalu terbebas dari kebijakan pajak. Usaha serupa pun, dikatakannya cukup menjamur di Ibukota.
“Saya juga tidak tahu, sistem pemungutan pajaknya bagaimana, berdasarkan laporan atau asumsi pendapatan. Ini perlu juga diklarifikasi Badan Pajak,” ungkapnya.
Dari hal tersebut, Ashraf mengimbau agar BPRD DKI Jakarta selalui berinovasi dan membuat formula baru untuk mengintensifkan pendapatan kas daerah dari wajib pajak.
“Jadi memang harus lebih giat lagi, lalu peningkatan pengawasan, dan penggalian potensi,” tegasnya.
Dengan alas aturan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pemenuhan Kewajiban Pajak Daerah dari Pemohon Perizinan dan Pemohon Pelayanan Perpajakan Daerah, Pemprov DKI tidak akan lagi melayani izin yang diajukan usaha yang menunggak pajak.
Dalam Pasal 3 Pergub tersebut dijelaskan kebijakan itu berlaku bagi usaha kelas menengah dan besar dan sudah lebih dari setahun. Usaha menengah yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500 juta tidak termasuk tanah dan bangunan serta memiliki penjualan lebih dari Rp2,5 miliar. (DDJP/nad/oki)