Sayyidina ‘Aisyah mempertanyakan ibadah–ibadah Nabi sedemikian aktif. Baik pada siang hari. Terlebih saat malam hari. Mengapa engkau melakukan yang sedemikian itu? Bukankah engau adalah Nabi dan Rasul pilihan Allah yang dijamin surga?
Nabi menjawab dengan jawaban pendek, tapi padat arti: “Afalam akuna ‘abdan syakuuran” (Tidakah aku sebagai hamba yang bersyakuur?”.
Redaksi yang digunakan Nabi adalah syakuur, bukan syukuur. Dalam tasawuf Ramadan, Imam Besar Masjid Istiqlal KH. Prof Nasaruddin Umar menyebutkan, kata syukuur dan syakuur sama-sama berasal dari akar kata syakara-yasykuru yang berarti bersyukur.
Syukuur ialah mensyukuri segala nikmat yang Tuhan berikan kepada kita, seperti kesehatan, rezeki, jabatan, keturunan, dan keluarga yang sakinah.
Sedangkan syakuur ialah mensyukuri segala sesuatu yang datang dari Tuhan. Termask musibah, penderitaan, dan kekecewaan.
Bersyukur terhadap berbagai nikmat Tuhan (syukuur) adalah sesuatu yang biasa. Akan tetapi, mensyukuri penderitaan, musibah, dan kekecewaan (syakuur) itu luar biasa.
Syukuur banyak dilakukan orang, tetapi syakuur amat langka sebagaimana dikatakan dalam ayat; ”Wa qalil min’ibadiy al-syakuur (Hanya sedikit sekali di antara hambaku yang mampu mencapai tingkat syakuur”. (QS Saba’ (34): 13).
Bersyukuur dalam arti syukr banyak dipahami secara keliru. Banyak orang yang menyangka bersyukur ialah mengucapkan tahmid (alhamdulillah). Tetapi sesungguhnya itu bukan syukur, melainkan hanya tahmid, memuji-muji Tuhan.
Bersyukur ialah memberikan sebagian nikmat Tuhan kepada hamba-Nya yang membutuhkannya. Misalnya, gaji kita dinaikkan atau kita memperoleh keuntungan usaha dagang, maka cara mensyukurinya, harus mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah.
Kepada orang-orang yang layak menerimanya atau sebagaimana ditunjuk oleh Syara’. Bentuk lain rasa cinta Tuhan.
Bersyukur dalam arti syakuur, berarti bersabar meneraima cobaan Tuhan dan taidak pernah salah paham terhadap Tuhan.
Misalnya, seseorang diuji deangan penyakit kronis, seperti diabet atau gagal gianjal yang mengharuskan cuci darah berkali-kali seminggu, tidak perlu mengutuk diri sendiri atau menyalahkan orang lain.
Bahkan menyalahkan Tuhan. Namun, harus menghadapinya dengan ,sabar sambil menjalani pengobatan secara intensif.
Tidak boleh pasrah sebelum berusaha secara maksimum sebatas kemampuan kita. Kalau sudah dilakukan berbagai upaya namun penyakit itu masih mendera kita, maka bersahabatlah dengan penyakit itu.
“Bersahabat dengan penyakit menurut para ahli anastesia atau ahli rasa nyeri, dapat menurunkan rasa sakit itu sendiri. Yakinkan pada diri kita bahwa penyakit ini pasti bentuk lain dari rasa cinta Tuhan terhadap diri kita,” kata Prof KH Nasaruddin Umar.
Nabi pernah bersabda, tambah dia, tidak ditimpa sebuah penyakit, penderitaan, kekecewaan sampai kepada duri menusuk kaki, melainkan itu semua sebagai pencuci dosa masa lampau, dan tanda-tanda bahwa Tuhan mencintai hamba-Nya.
Ia menurunkan siksaan lebih awal di dunia supaya di akhirat nanti lunas. Tidak lagi disiksa atau mengurangi siksaan kerasnya di neraka, dan, sehari dilanda penyakit demam, akan dihapuskan dosanya selama setahun.
“Kalau selama ini kita bersyukur dalam arti syukur, maka kita sudah berada setingkat lebih baik daripada orang yang tidak pernah bersyukur sama sekali atau hanya bertahmid. Tapi, kita masih perlu berjuang bagaimana kita sampai ke tingkat lebih tinggi lagi. Yaitu, syukur dalam arti syakuur,” tutur dia.
“Untuk mencapai derajat syakuur, kita perlu meningkatkan kesadaran spiritual dengan meningkatkan kesabaran dan pengendalian diri. Kualitas syakuur tidak bisa dicapai tanpa berusaha untuk lebih mendekatkan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Wallahu a’alam,” pungkas Nasaruddin Umarnya. (DDJP/stw)