Cegah Gelombang PHK, DKI Harus Bijak Memberlakukan Pajak Hiburan

January 17, 2024 3:08 pm

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk kategori hiburan menjadi 40 persen. Hal itu sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah ditetapkan pada 5 Januari lalu.

Menanggapi hal itu, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi meminta Pemprov DKI mempertimbangkan kembali dampak penetapan pajak hiburan.

Bila memungkinkan, menurut dia, perda tersebut bisa dikaji ulang. Sebab, ada kekhawatiran kebijakan itu justru membuat pengusaha hiburan gulung tikar. Akibatnya, pendapatan asli daerah (PAD) merosot.

“Kalau itu membuat pengusaha bangkrut, pendapatan kita dari mana? Ini harus dikaji ulang,” ujar Prasetyo di gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (17/1).

Oleh karena itu, sambung Prasetyo, diperlukan solusi terbaik mengatasi persoalan tersebut. Ia akan meminta dinas terkait menjelaskan kembali langkah terbaik mengantisipasi dampak lain dari kebijakan, seperti potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada para pekerja.

Bila banyak PHK sebagai dampak kebijakan tersebut, pastinya angka pengangguran di Jakarta meningkat. Sehingga menjadi kendala bagi Pemprov DKI dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Saya akan bicara di dalam rapim (rapat pimpinan) dengan Dispenda (Bapenda-Red). Bijaklah pemerintah daerah memutuskan itu, dilihat dulu demografinya kayak apa. Kalau semua pengusaha dihajar 40 persen, ya bubar (bisnisnya). Pada tutup dan banyak PHK,” tandas dia.

Sebagai informasi, dalam aturan sebelumnya Perda DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan, di mana besaran tarif pajak diskotek, karaoke, kelab malam, pub, bar, live music, music dengan DJ dan sejenisnya hanya 25 persen. Sementara, tarif pajak panti pijat, mandi uap, dan spa hanya sebesar 35 persen. (DDJP/gie/rul)