Jekulo nama anak itu. Orangtuanya Jawa asli. Panggilan akrabnya Kulo yang artinya ‘saya’.
Ia dikenal memiliki kepribadian kurang baik.
Suka mengambil berbagai makanan kecil di warung orangtuanya.
Dari permen, coklat dan makanan kecil lainnya.
Ayah dan ibunya sering merasa kehilangan.
Saat ditanya siapa yang mengambil beragam makanan kecil itu, murid kelas V SD itu selalu menjawab “Bukan saya”.
Pada waktu pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), guru bertanya kepada Jekulo.
“Siapa pengarang lagu Indonesia Raya,?”
Dengan tegas Jekulo menjawab.
“Bukan saya, pak guru!,” tegas Jekulo.
“Memang bukan kamu.Tapi sebutkan namanya,” tandas guru.
“Ya, pak guru. Bukan saya, bukan Jekulo,!” jawab Jekulo lagi.
“Ya, memang bukan kamu!,” tutur pak guru dengan nada jengkel.
“Ya semua orang tahu bukan kamu, tetapi siapa?” desak pak guru.
“Ya, pak guru sendiri sudah tahu. Pencipta lagu Indonesia Raya bukan saya,” kata Jekulo membantah.
Karena merasa dipermalukan, pak guru melaporkan Jekulo ke kepala sekolah.
Di hadapan kepala sekolah, Jekulo pun tetap menjawab bahwa pencipta lagu Indonesa Raya “Bukan saya”.
Kepala Sekolah pun menjadi jengkel, lalu menelepon Sukarjo, ayah Jekulo.
Tak lama kemudian ayah Jekulo datang.
“Bapak kepala sekolah yang terhormat,” kata ayah Jekulo sopan.
“Maafkanlah anak saya, kalau Jekulo nakal dan berbuat salah. Biarlah saya bawa pulang. Laporannya besok saya sampaikan kepada bapak kepala sekolah,” tutur ayah Jekulo.
Pagi-pagi sekali, ayah Jekulo sudah sampai di sekolah dan menghadap kepala sekolah.
“Bapak kepala sekolah yang terhormat. Saya sudah berkali-kali bertanya kepada Jekulo, siapa pencipta lagu Indonesia Raya. Jawabannya memang benar. Bahwa pencipta lagu Indoesia Raya bukan dia. Bukan Jekulo,” ungkap ayah Jekulo. (stw)