Perjalanan orang Prancis ke Nusantara memiliki berbagai motivasi. Ada yang karena alasan politik, seperti kunjungan Duc Panthieve, bangsawan Prancis, putra Pangeran Joinville kepada Sultan aHmengkubuwoo VI atau masuknya Arthur Rimbaud, pengarang terkenal Prancis sebagai serdadu.
Selain itu, ada pula perjalanan orang Prancis yang bersifat kultural, kemudian menghasilkan karya-karya sastra sejarah yang sangat penting. Misalnya, Coume Ludovic de Beaauvor yang menulis Voyage Autor du Monde Java, Siam Kanton. Penerbitan pertama kali oleh Henri Plon di Paris, tahun 1872.
Tulisan tersebut sebenarnya berupa catatan harian yang diceritakan dengan gaya penceritaan sebuah roman. Menceritakan perjalanannya menemani Duc de Panthieve untuk menemui Sultan Hamengkubuwono VI. Perajalanan itu dengan rute Batavia-Bandung-Semarang-Surakarta-Yogyakarta, dan kembali ke Batavia lewat Semarang (Udasmoro, Wening:2010).
Ludovic mengawali catatannya dari Batavia 10 November 1866. Diceritakannya, pertama kali yang menerima mereka di Tanah Jawa adalah para petugas pabean Belanda yang pucat kulitnya dan pirang rambutnya. Memakai seragam gemerlap dan membawa beberapa gombyok kunci.
“Setelah membuka koper-koper kami tanpa permisi dan membongkar semuanya, mereka memperlakukan kami agak lamban. Akan tetapi, baru saja kami membongkar koper-koper kami, seorang laki-laki pribumi memperkenalkan diri. Setengah penjaga pintu, setengah polisi, dengan pedang di pinggang dan kaki telanjang. Dia menyuruh kami sesuai peraturan polisi tingkat tinggi untuk menuliskan nama dan pekerjaan kami di buku catatan yang tampaknya tidak sembarangan. Karena setiap kolomnya menuntut keterangan yang resmi dan rinci,” tulis dia.
Dikemukakan pula, mereka adalah orang Melayu yang memakai topi bergaris-garis merah dan keemasan, seperti sejenis lomceng bulat menggembung besar sekali yang menaungi seluruh tubuh mereka. Di jalan-jalan kecil banyak orang China berjalan dengan sombong bergaya ‘dandy’ kaya dari Negeri China.
Dahi mereka dicukur, rambut mereka dikepang sedemikian rupa, sehingga menimbulkan keinginan orang lain untuk memegangnya. Seorang Melayu melindungi mereka dari sinar matahari dengan payung besar berwarna biru langit.
“Kami menyusuri kanal-kanal. Di sana terlihat beberapa kelompok yang terdiri dari 30 sampai 40 orang Melayu sedang mandi. Tiba-tiba, kegembiraan mereka terganggu oleh sebuah perahu yang sarat dengan buah-buahan yang meluncur dengan perlahan karena pengayuh dayung kelelahan. Kemudian, satu batalyon pasukan berkuda pribumi yang lewat dengan cepat dan tanpa suara. Pedang mereka setinggi kuda menyentuh tanah. Tombak mereka menyentuh daun kelapa”.
Itulah sekelumit kisah dan penuturan lewat ‘kacamata’ seorang Prancis Comte Ludovic de Beauvoir pada suatu hari di Batavia tahun 1886.
Louis-Antoine Mampir di Batavia
Louis-Antoine de Bougainvile adalah seorang perwira angkatan laut kerajaan Prancis yang berhasil mengambil alih Kepulauan Malouine (Folklands atau Malvinas). Kepulaunan itu dijual kepada raja Spanyol untuk mewujudkan impiannya keliling dunia yang mulai dilakukan dari Kepulauan Malouine di Atlantik Selatan ke Pasisifik, terus ke Tahiti, Papua Nugini, Pulau Maluku, serta singgah di Batavia dalam perjalanan pulang ke Prancis. Inilah kesan-kesannya mengenai Batavia dan mengapa hanya singgah sejenak.
Bernard Dorleans dalam bukunya yang berjudul ‘Orang Indonesia dan Orang Prancis di Abad XVI sampai dengan abad XX’ menceritakan perjalanan itu. “28 September 1768, setelah berlayar selama 10,5 bulan, akhirnya kami sampai di Teluk Batavia. Kami disambut Tuan Vanderluis (sang syahbandar) dan menawari kami untuk menghadap Gubernur Hindia Timur, yakni Tuan Van der Parra”.
“Kesokan harinya, kami diterima di kediaman gubernur di kawasan bernama Jacatra. Kami menyusuri jalan-jalan besar sepanjang kanal dan dibuat teduh dengan deretan pepohonan yang hanya bisa dibandingkan dengan jalan-jalan termegah di Paris. Kami juga diundang untuk kunjungan protokoler ke direktur jenderal, ketua Mahkamah Agung, dan wakil panglima Angkatan Laut”.
“Semua orang penting tersebut sudah ditemui dan menyenangkan. Kami menghadiri jamuan makan malam luar biasa diiringi dengan konser. Baik di kota dan sekitarnya. Atau menyaksikan pertunjukan teater ala Belanda maupun China. Vila-vila di sekitar Batavia terasa sejuk dan dikelilingi kebun-kebun yang indah. Jauh lebih elok daripada kebun-kebun kita di Prancis”.
“Namun sebagai pengamat yang baik, Louis Antoine juga melihat bagian lain kota Batavia. Yaitu, kanal-kanal yang airnya mengailr kotor dan bau busuk. Belum lagi kelembaban yang saagat tidak sehat buat orang Eropa. Memang, Kota Batavia dibangun semata-mata berdasarkan tata kota versi Belanda. Meski sewaktu-waktu kota itu bisa diguncang gempa bumi,” tulis dia.
Hal buruk pun kemudian terjadi. Setelah beberapa hari di Batavia, sebagian awak kapal mulai jatuh sakit. Beberapa orang yang sebelumnya tampak segar bugar, tiga hari kemudian boleh jadi harus dikebumikan. Sebab terserang demam atau disentri. Menginap sehari saja di rumah sakit, tidak cukup untuk menyembuhkan penyakit itu.
“Konsekuensinya, saya memutuskan untuk mempercepat persiapan keberangkatan. Karena khawatir kalau waktu singgah diperpanjang , sya akan kehiangan kelasi lebih banyak lagi selama perjalanan menjelajahi dunia,” ujar dia.
Setelah tinggal selama 10 hari, de Bougeainville membongkar sauh dan meninggalkan Batavia. Pada 15 Maret 1769, Louis-Antoinne de Boubainville, kembali ke Saint Malo dengan nama harum sebagai orang Prancis pertama dari kalangan angkatan laut kerajaan yang secara resmi melakukan perjalanan keliling dunia. (stw)