Dulu, di Kota Inten, dekat Pasar Ikan, ada sebuah meriam peninggalan Portugis yang disebut meriam ‘si Jagur’. Meriam yang terbuat dari baja itu, entah sejak kapan telah dikeramatkan orang.
“Banyak orang dari sekitar Jakarta datang berziarah, menabur bunga, sambil berdoa meminta berkah,” kata Udin, pemandu wisata Kota Tua kepada serombongan pelajar di depan Museum Wayang, Kota Tua.
“Saya pernah dengar cerita orang, ada yang meminta supaya lekas punya anak. Ada yang meminta supaya kaya, naik pangkat, dan sebagainya,” kata Mukarom, salah seorang dari rombongan pemuda itu.
“Semua perbuatan syirik ini menyebabkan Pemerintah DKI Jakarta menutup tempat itu dan memindahkan si Jagur ke salah satu ruangan di Museum Gajah, Jl. Medan Merdeka Barat dan melarang untuk dikunjungi lagi,” kata Udin.
“Pada suatu pagi di pertengahan tahun lima puluhan, datanglah seorang laki-laki dengan pakaian agak lusuh menghadap Kepala Museum dengan permohonan agar diizinkan menziarahi si Jagur. Mula-mula, kepala museum bersikeras untuk tidak mengizinkan. Namun, melihat si laki-laki itu amat memaksa, akhirnya si laki-laki itu diizinkan menziarahi si Jagur,” tambah Udin.
“Cerita selanjutnya bagaimana?” Munawaroh penasaran.
“Dengan wajah lega, laki-laki itu keluar dari ruang tempat si Jagur disimpan dan berkata,”Oooo,….anu Pak. Saya cuma minta agar segera dianugerahi seorang cucu”.
Lalu, dengan mengucapkan terima kasih, laki-laki itu pamit untuk pulang.
Udin melanjutkan ceritanya. Kira-kira setahun berikutnya, laki-laki itu datang lagi menghadap Kepala Museum dengan tujuan yang sama.
Kepala museum itu pun bertanya kembali. “Apa sekarang cucu bapak belum lahir?,” tanya dia.
“Sudah sih sudah,” jawab lelaki itu perlahan.
”Tetapi, dari anak perempuan saya yang belum menikah”.
“Masya Allah,” gumam rombongan tersebut serempak. (DDJP/stw)