Transportasi merupakan cara memindahkan manusia atau barang dengan menggunakan wahana yang digerakkan oleh manusia atau mesin.
Bahkan, pada zaman sebelum penggunaan mesin, transportasi juga menggunakan hewan. Para ahli sepakat bahwa transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam beraktivitas sehari-hari.
Sesuai perkembangan zaman, transportasi menjadi alat yang semakin dibutuhkan. Bentuk alat transportasi terus mengalami perkembangan.
Semakin canggih. Sebab, manusianya semakin canggih memikirkan dan menciptakan alat transportasi yang dianggap paling efektif dan efisien.
Seperti di Kota Jakarta yang banyak menyimpang sejarah panjang perkembangan alat transportasi. Masyarakat di kota yang kini dikenal semakin modern ini, berbagai transportasi canggih yang menghubungkan pusat kota dengan wilayah aglomerasi sudah ada. Yakni MRT, LRT, Commuter Line, hingga TransJakarta.
Namun sebelum semua transportasi itu ada, berbagai bentuk transportasi telah dirasakan juga oleh masyarakat dari masa-masa sebelumnya. Di antaranya yakni Delman.
Transportasi lainnya adalah Becak. Pada 1950-an, becak merupakan salah satu ‘primadona’ transportasi di Jakarta. Sejarawan Susan Abeyasekere dalam bukunya, ‘Jakarta: A History’, pada tahun 1970 terdapat 92.650 becak yang terdaftar di Jakarta.
Diperkirakan, jika dijumlah dengan becak yang tidak terdaftar, maka angkanya bisa mencapai 150 ribu.
Meski demikian, eksistensi becak akhirnya tersingkir karena jalannya yang lamban dan dinilai sebagai alat transportasi yang mengeksploitasi manusia.
Bahkan, perjalanan sejarah perjalanan becak di Jakarta penuh dengan muatan krontroversial.
Berdasarkan hasil riset Litbang Kompas, becak mulai beroperasi di Jakarta pada 1936. Tujuh tahun kemudian, jumlahnya sudah mencapai 3.900 unit.
Jumlah becak di Jakarta tercatat 25.000 yang dikemudikan oleh 75.000 orang dalam tiga shift, pada tahun 1951.
Namun pada 1967, becak tidak diakui sebagai kendaraan angkutan umum oleh DPRD-GR Jakarta. Tepatnya ketika pengesahan Perda Pola Dasar dan Rencana Induk Jakarta 1965-1985.
Bahkan pada 1970, Gubernur DKI Ali Sadikin melarang memproduksi dan memasukkan becak ke Jakarta, termasuk rayonisasi becak.
Ketika itu, jumlah becak diperkirakan mencapai 150.000 unit, dikemudikan 300.000 orang dalam dua shift. Di selanjutnya, Pemda menetapkan sejumlah jalan protokol dan jalan lintas ekonomi tidak boleh dilewati becak.
Pada 1972, DPRD DKI mengesahkan Perda No. 4/1972, menetapkan becak, sama dengan opelet, bukan jenis kendaraan yang layak untuk Jakarta. Saat itu becak berkurang dari 160.000 menjadi 38.000.
Selanjutnya pada 1988, Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto dalam instruksi No. 201/1988, memerintahkan para pejabat di lima wilayah kota untuk melakukan penyuluhan terhadap pera pengusaha dan pengemudi becak dalam rangka penertiban becak di jalan sampai penghapusan seluruh becak dari Jakarta. Saat itu, becak tercatat 22.856 becak.
Pemda DKI pada 1990, memutuskan becak harus hilang dari Jakarta. Kesabaran selama 20 tahun untuk membiarkan becak tetap ada di jalanan dianggap sudah cukup sebagai tenggang rasa dari Pemda DKI.
Awal tahun 1990, becak yang masih tersisa di Jakarta. Tercatat berjumlah sekitar 6.289 becak. Becak dilarang beroperasi di Ibu Kota sejak April 1990, dan ditetapkan melalui Perda No 11/1988.
Gubernur DKI Sutiyoso pada 24 Juni 1998 menyatakan, selama masa krisis ekonomi, angkutan umum yang disebut becak dibolehkan beroperasi di ibukota.
Bila situasi dan kondisi ekonomi sudah pulih kembali, maka larangan becak beroperasi di kawasan hukum diberlakukan lagi.
Sehari setelah itu, tepatnya pada 25 Juni 1998, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menginstruksikan kepada wali kota se-DKI Jakarta agar membina kehadiran becak selama resesi ekonomi, dengan cara memberi tempat operasi, supaya tidak mengganggu ketertiban umum.
Lokasi beroperasinya becak, hanyalah di jalan-jalan lingkungan yang tidak dijangkau oleh kendaraan bermotor, dan roda empat.
Melalui izin lisan, Gubernur Sutiyoso pada 29 Juni 1998, membolehkan beroperasinya angkutan umum becak di Jakarta, ditarik kembali.
Dengan demikian, becak dilarang beroperasi di wilayah hukum DKI Jakarta. Meski usia izin lisan itu hanya sempat berlaku tujuh hari. Namun, jumlah becak yang masuk ke Jakarta sudah mencapai sekitar 1.500 buah.
Berikut perjalanan becak selanjutnya:
10 Maret 1999: Sedikitnya 800 pengayuh becak dengan mengendarai 400 becak mendatangi Balaikota DKI Jakarta. Mereka yang berada di sana sejak pagi ingin bertemu Gubernur Sutiyoso untuk menyampaikan tuntutan agar becak diperbolehkan beroperasi di wilayah permukiman dan jalan nonprotokol ibukota.
Di samping itu, mereka juga meminta Pasal 18 Peraturan Daerah (Perda) No 18/1998 tentang pelarangan becak di Jakarta diubah.
15 April 1999: Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta menolak untuk mengubah Peraturan Daerah (Perda) DKI No 11/1988 tentang pelarangan becak beroperasi di ibukota. Namun begitu, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tetap menawarkan alih profesi para pengemudi becak tersebut melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS).
9 November 1999: Sekitar 5.000 pengayuh becak, yang dipimpin Ketua Konsorsium Kemiskinan Kota, Wardah Hafidz berunjuk rasa ke Gedung DPRD DKI dan menuntut Perda No 11/1998 dicabut. Saat menerima perwakilan para pengayuh becak, Wakil Ketua DPRD DKI Tarmidi Suharjo menyatakan, setuju untuk mencabut perda tersebut.
10 November 1999: Becak tetap dilarang beroperasi di wilayah DKI Jakarta, sebab Peraturan Daerah (Perda) No 11/1998 masih berlaku. Pasal 18 Perda No 11/1998 melarang orang atau badan membuat, menjual, dan mengoperasikan becak di wilayah Ibu Kota tegas Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.
31 Januari 2000: Ratusan pengayuh becak yang dimotori Konsorsium Kemiskinan Kota, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dipimpin Wardah Hafidz, berunjuk rasa ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. Mereka masih mengajukan tuntutan lama, yaitu pencabutan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di Ibu Kota yang melarang becak beroperasi.
15 Februari 2000: Wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan dinyatakan bersih dari becak sejak diadakan operasi mulai Desember tahun 1999. Dari 6.649 becak yang tercatat beroperasi di Jakarta, sekarang tinggal 3.519 yang tersebar di Jakarta Pusat, Jakarta Utara, dan Jakarta Barat.
17 Februari 2000: Sebanyak 139 koordinator pangkalan becak yang mewakili sekitar 5.000 tukang becak di wilayah DKI Jakarta (penggugat) melalui kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menggugat Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso (tergugat). Sutiyoso dinilai melanggar Peraturan Daerah (Perda) No 11/1988 tentang Ketertiban Umum dalam Wilayah DKI Jakarta. Gugatan itu didaftarkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
28 Februari 2000: Koordinator Urban Poor Consortium (UPC) Wardah Hafidz bersama staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Daniel Panjaitan serta sebelas tukang becak, ditangkap dan dibawa ke Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya. Penangkapan tersebut menyusul aksi unjuk rasa yang mereka lakukan sejak pagi di Istana Merdeka, Jakarta. Namun demikian, polisi tidak menahan mereka. Setelah dimintai keterangan oleh aparat Polda Metro Jaya, Wardah dan kawan-kawan dipulangkan.
31 Juli 2000: Ratusan tukang becak memekik kegirangan usai putusan sidang perkara gugatan tukang becak (penggugat) terhadap Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso (tergugat) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Ketua Majelis Hakim Manis Soejono dalam putusannya menyatakan, penggugat dapat melaksanakan pekerjaan sebagai penarik becak di jalan-jalan permukiman dan pasar.
1 Agustus 2000: Meskipun kalah melawan para pengayuh becak di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Gubernur DKI Sutiyoso terus merazia becak. Sutiyoso juga menolak memberikan ruang gerak atau tempat beroperasi bagi becak, sekalipun di kawasan terbatas.
6 November 2000: Sekitar 400 warga yang menuntut penghapusan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban, melakukan unjuk rasa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. Warga yang terdiri dari para pemulung, pedagang kaki lima, tukang becak, dan anggota keluarganya itu, berunjuk rasa dibawa oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) Urban Poor Consortium (UPC) pimpinan Wardah Hafidz.
19 Juli 2001: Ribuan tukang becak, pedagang kaki lima, pengamen, dan pengemis, Kamis (19/7) siang melakukan unjuk rasa di Balaikota DKI Jakarta menuntut pencabutan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum.
13 Agustus 2001: Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta mengadakan operasi “penggarukan” becak secara serentak di lima wilayah DKI Jakarta.
2012-2017: Pemprov DKI Jakarta yang secara berturut-turut dipimpin Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dan Djarot Saiful Hidayat, tetap mengikuti aturan yang berlaku dengan melarang becak beroperasi di Jakarta. Jokowi yang beberapa tahun setelahnya terpilih menjadi presiden dikirimi surat oleh seorang tukang becak soal kekecawaan larangan becak beroperasi di Jakarta.
2018: Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ingin kembali menghidupkan becak di Jakarta. Salah satu caranya dengan membuat rute khusus yang bisa dilalui moda transportasi tradisional itu.
Jejak beroperasinya becak tidak terlepas dari sorotan berbagai kalangan. Dalam artikel yang ditayangkan Harian Republika pada Ahad, 6 April 2003, Hawe Setiawan sebagai editor sebuah penerbitan menulis tentang nasib pengayuh becak yang kerap diposisikan sebagai komoditas politik.
Dalam artikel bertajuk ‘Becak, Becak, Coba Bawa Saya’ itu, Hawe menceritakan pernah menyaksikan wakil bupati mengayuh becak pada 30 Maret 2003. Penumpang becak itu yakni ketua DPRD. Hal itu berlangsung dalam sebuah arak-arakan keliling Kota Tasikmalaya yang diprakarsai kalangan seniman setempat.
Menurut Hawe, keberadaan becak berbeda dengan kondisi di Jakarta. Becak dianggap sebagai biang keladi kesemrawutan lingkungan. Bahkan, Pemda DKI Jakarta kerap merazia kendaraan roda tiga itu. Lalu, becak diangkut dengan truk dan dibuang ke laut.
Dalam buku ‘Bahasa dan Kekuasaan’ (Mizan, 1995) susunan Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, terlihat foto Harmoko sewaktu memimpin Partai Golkar, menggendong pengayuh becak dalam sebuah panggung rapat akbar. Mobilisasi komunitas pengayuh becak dilakukan untuk memikat hati orang cilik.
Bahkan, para pengayuh becak diberikan kaos oblong bergambar logo partai dan diajak berarak di tengah banyak orang. Hanya saja ketika kekuasaan beralih, biasanya Si Abang Becak tetap tersisih. Bagi mereka yang hendak, mungkin becak bisa juga sebagai kendaraan politik.
Tak hanya kritikan tentang cara memperlakukan dan memanfaatkan komunitas pengayuh becak ketika itu. Banyaknya becak hasil razia yang dicemplungkan ke laut pun menuai inspirasi bagi kalangan penulis. Seperti sebuah tulisan di Koran Suara Pembaruan, Jumat, 9 Oktober 1987, berjudul ‘Plang-pling-plung’ Bukan Bunyi Becak Dicebur.
NH Dini, pengarang cerita menjadikan peristiwa dicemplungkannya becak ke laut sebagai inspirasi untuk menulis cerpen. Hal itu dibuktikan Dini dalam karyanya yang berjudul Les Nids De Posson Dans La Baie De Jakarta (Sarang-sarang Ikan…) yang menjadi pemenang pertama lomba mengarang cerpen bahasa Perancis se-Indonesia. (DDJP/df)