DPRD DKI Jakarta mengambil batas bawah atas kenaikan pajak hiburan sebesar 40 persen untuk menjadi iklim perekonomian. Hal itu tertuang dalam Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Acuannya, UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Menurut Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DKI Jakarta Pantas Nainggolan, regulasi itu mengatur batas atas dan batas bawah dari besaran pajak bagi pelaku usaha. “Jadi kami ambil batas bawah dengan harapan, pihak yang dikenakan wajib pajak itu tidak terbebani,” kata Pantas, Kamis (18/1).
Pihaknya bersama eksekutif menyadari bahwa pemberlakuan batas bawah itu mempertimbangkan kemampuan pelaku usaha hiburan. “Dari perda yang lama itu kira-kira normal menurut DKI (pajak hiburan 25 persen). Kemudian keluar UU yang mengatur batas atas dan batas bawah. Ternyata batas bawahnya juga ada yang cukup tinggi misalnya seperti pajak hiburan,” ungkap Pantas.
Dalam menggodok aturan tersebut, sambung Pantas, Bapemperda bersama Pemprov DKI menerapkan standar operasional prosedur (SOP). Dimulai dari pengajuan regulasi, rapat dengar pendapat (RDP), dan mengajak pelaku usaha serta akademisi dalam pembahasan.
Bahkan, Pantas menghormati sikap Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija) yang akan mengajukan uji materi atau judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, pasal 58 Ayat 2 dari UU No. 1/2022 dianggap tidak rasional.
Ia pun berjanji akan menyesuaikan aturan tersebut bila JR dikabulkan MK. Seperti diketahui, jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa dikenakan pajak terendah sebesar 40 persen.
Sebelumnya, pimpinan DPRD DKI Jakarta mendorong eksekutif untuk merevisi regulasi tentang pungutan pajak hiburan yang naik dari 25 persen menjadi 40 persen pada tahun 2024. Langkah tersebut perlu dilakukan agar tidak memberatkan pelaku usaha yang mulai bangkit dari Pandemi Covid-19.
Belum lagi, dampak pemberlakuan pajak hiburan yang dianggap sangat tinggi berpotensi terjadi penutupan tempat usaha yang justru memunculkan gelombang PHK bagi kalangan pekerja. (DDJP)