Sampah masih menjadi persoalan serius bagi Kota Jakarta. Seiring pertumbuhan jumlah penduduk, volume sampah yang dihasilkan terus meningkat. Karena itu, dibutuhkan berbagai upaya agar tidak menjadi bom waktu bagi generasi selanjutnya.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), DKI Jakarta menghasilkan 11,25 juta ton timbulan sampah selama periode 2019-2022.
Sepanjang 2022, DKI Jakarta memproduksi 3,11 juta ton timbulan sampah, terbanyak keempat di Indonesia. Volume timbulan sampah tersebut naik tipis 0,97 persen dibanding 2021, tetapi menjadi level tertinggi dalam empat tahun terakhir.
Bahkan, rata-rata sekitar 30,84 ribu ton timbulan sampah harian yang dihasilkan di DKI Jakarta sepanjang 2019-2022.
Menanggapi persoalan itu, Sekretaris Komisi D DPRD Provinsi DKI Jakarta Syarif menyebutkan, pengelolaan sampah berbasis komunitas seharusnya segera diwujudkan.
“Saya ingin wacana pengelolaan sampah berbasis komunitas digaungkan secara serius tahapannya supaya terealisasi,” ujar Syarif di gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (5/3).
Sekretaris Komisi D DPRD DKI Jakarta Syarif. (dok.DDJP)
Bila dibentuk komunitas pengelola sampah, kata Syarif, maka bisa memilah dan mendaur ulang. Seperti menjadikan sampah sebagai produk kerajinan.
Dengan demikian, kegiatan tersebut bisa membantu penyelesaian masalah sampah. “Padahal kalau itu konsisten untuk mewujudkan, 10 tahun selesai pengelolaan sampah berbasis komunitas,” ungkap dia.
Syarif menyebut, pengelolaan sampah berbasis komunitas akan membantu mengurangi limbah sampah rumah tangga. Akan banyak Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat untuk bekerja mengelola sampah.
Hal itu tentunya berdampak langsung dalam menumbuhkan semangat gotong royong yang sudah menjadi ciri khas orang Indonesia.
“Karena modal sosial kita masih ada, semangat gotong royong itu yang harus digaungkan lagi dalam program pengelolaan sampah berbasis komunitas,” kata Syarif.
Syarif mengatakan, Pemprov DKI juga harus mendukung SDM yang terlibat dalam pengelolaan sampah. Sebab hingga kini belum ada dukungan.
Akibatnya, masyarakat menjadi pasif untuk mengubah sampah menjadi sebuah barang yang bernilai. “Kurang stimulus, harusnya stimulusnya itu orang diberikan penghargaan. Stimulusnya Dinas LH (Lingkungan Hidup) saat ini hanya belanja barang buat bantuan pengki, bantuan sapu. Bukan hanya itu saja harusnya,” ungkap Syarif.
Selain itu, Syarif juga menyayangkan adanya bank sampah hanya sebagai pajangan saja. Hal itu disebabkan tidak adanya keseriusan dari Pemprov DKI mendukung program tersebut.
“Bank sampah juga banyak yang bangkrut. Karena tidak ada keseriusan. Kalau dioptimalkan kan bisa mengurangi sampah 20 persen lumayan. Sekarang 40 persen saja belum sampai,” imbuh dia.
Meski begitu, Syarif mengapresiasi pembangunan Refuse Derived Fuel (RDF) Plant yang menggatikan Intermediate Treatment Facility (ITF) untuk menuntaskan masalah sampah di Jakarta.
Menurut dia, RDF harus diperbanyak lagi di wilayah Jakarta. “Jadi kita jangan putus asa, pembatalan ITF itu kan karena kekurangan uang. Untuk sekarang ini RDF Plant adalah salah satu solusinya meski belum optimal,” tukas Syarif. (DDJP/apn/gie)