Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan bahasa ibu terbanyak di dunia. Namun, setiap tahunnya, beberapa bahasa ibu itu punah seiring perkembangan zaman. Termasuk bahasa Betawi.
Setiap tahun, Indonesia kehilangan dua sampai tiga bahasa ibu. Terutama di daerah pedalaman, seperti Papua. Sebab, bahasa ibu tak lagi digunakan.
Begitu pula di Jakarta. Bahasa ibu, khususnya bahasa Betawi sudah jarang digunakan. Terkecuali di daerah Jakarta pinggiran.
Demikian dikemukakan Prof.Arief Rachman saat menjabat ketua harian Komisi Nasional untuk Badan Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Dunia (UNESCO).
Menurut Arief Rachman, Indonesia memiliki sedikitnya 783 bahasa ibu. Dari jumlah itu, empat ratusan bahasa ibu berada di Papua.
Sayangnya, keanekaragaman bahasa Ibu di Papua semakin menyusut karena tidak digunakan. Dengan jumlah bahasa ibu sebanyak itu, tambah Arief Rachman, yang dibutuhkan adalah satu bahasa nasional, bahasa Indonesia.
Namun, bukan berarti bahasa ibu tidak lagi digunakan. Demikian pula bahasa Betawi yang beraneka ragam, hampir terlupakan oleh generasi muda.
Arief Rachman menegaskan, bahasa adalah alat yang paling kuat untuk menjaga dan mengembangkan kekayaan budaya benda maupun tak benda suatu bangsa.
Kalau suatu bahasa hilang, hilang pula suatu tradisi atau budaya. Karena itu, para orang tua diimbau untuk membiasakan anak-anak mereka berbicara dalam bahasa ibu mereka.
“Meski pun demikian, kita tak menyangkal bahwa desakan secara sosial untuk berbicara dalam bahasa nasional maupun asing sangat tinggi saat ini. Tetapi, paling tidak dalam lingkup keluarga, bahasa ibu sebisa mungkin harus tetap digunakan. Sebab, UNESCO juga sangat mendukung semua upaya untuk mempromosikan penyebaran bahasa ibu. Tujuannya, tidak hanya untuk memperkuat keanekaragaman linguistik dan pendidikan multingual, tetapi juga tradisi dan budaya di seluruh dunia. Begitu pula bahasa Betawi yang perlu diselamatkan dari kepunahannya,” tutur Anggota DPRD DKI Jakarta Chotibi Achyar.
Anggota DPRD DKI Jakarta Chotibi Achyar. (dok.DDJP)
Putra Betawi yang akrab disapa Haji Beceng itu juga mengatakan, Pemprov DKI Jakarta c/q Dinas Pendidikan dan Kebudayaan maupun instansi terkait punya tanggung jawab besar untuk melestarikan bahasa Betawi yang notabene juga merupakan salah satu bahasa ibu yang kini terancam punah.
Dengan adanya Perda tentang Pelestarian Seni dan Budaya Betawi, diharapkan Perda tersebut juga dapat menjadi payung hukum bagi kelestarian bahasa Betawi.
Hasil dari suatu penelitian mengungkapkan, di negara-negara yang multietnik seperti Turki, Nepal, Pakistan, Bangladesh, dan Guatemala, dominasi bahasa nasional sering kali mengabaikan imbas budaya bagi para murid.
“Demikian pula di ibukota. Pelajaran bahasa daerah, khususnya bahasa Betawi nyaris tak pernah ada. Insya Allah, kota Jakarta yang usianya menjelang lima abad ini, bisa menggelorakan kembali penggunaan bahasa Betawi melalui kurikulum bahasa di sekolah-sekolah,” tandas tokoh Betawi Cengkareng.
Terkait itu, Direktur GEM UNESCO, Aaron Benavot mengibaratkan bahasa nasional sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, bahasa (nasional) itu menyatukan beragam suku bangsa serta menyuburkan rasa kebersamaan.
Di sisi lain, bahasa nasional kerap menepikan bahasa ibu. Kebijakan pendidikan nasional semestinya mampu menjamin bahwa semua murid, termasuk anak-anak dari etnik minoritas, belajar di sekolah dengan bahasa yang mereka pahami.
Riset ini menghasilkan sejumlah rekomendasi yang antara lain mengharuskan agar anak-anak diajarkan dalam bahasa yang mereka pahami.
Setidaknya, hal itu mesti diterapkan dalam enam tahun pertama pendidikan dasar. Para guru juga dianjurkan untuk memahami dua bahasa sekaligus.Yakni bahasa nasional dan bahasa ibu kepada para murid. (DDJP/stw)