Kebiasaan Stephanie Octavia membantu sesama tak sebatas memegang stetoskop. Ia mau masyarakat merasakan nikmat sehat dan pendidikan. Perempuan yang ketika itu berusia sekitar 34 tahun di tahun 2019 itu pun lantas banting stir dari profesi dokter menjadi anggota legislatif.
Stephanie memilih berada di Komisi E agar dapat menkritisi anggaran DKI Jakarta untuk kesehatan. Dengan anggaran yang ada, pemerintah diharapkan dapat memberikan pelayanan yang terbaik.
“Saya sering menemui warga yang mengadu, BPJS-nya ditolak. Keluhan ini terjadi di tengah sistem kesehatan di Jakarta yang katanya sudah modern,” sesal alumni Universitas Tarumanegara, Jakarta Barat itu.
Untuk menyelesaikan keluhan warga tentang BPJS, wanita lulusan SMP Kristen BPK Penabur Kota Modern itu, sudah sering kali menelepon personel dinas terkait agar menindaklanjuti keluhan warga. Dengan cara itu, ia bisa lebih banyak membantu warga ketimbang sebatas membuka praktik dokter.
Stephanie mengkritik kakunya birokrasi pembuatan kartu BPJS Kesehatan. Salah satunya adalah penerapan sistem daring (online) lewat telepon selular (ponsel) yang menurutnya belum akrab dengan warga.
“Seharusnya ada sistem pilihan dulu sampai warga mampu menggunakan sistem daring, dan mampu membeli ponsel android,” tegas dia.
Stephanie berharap, di tahun 2024, seluruh warga Indonesia, khususnya warga DKI, harus memiliki kartu BPJS. Dan tentu saja, bersih dari pengaduan penolakan BPJS. “Target itu bisa dicicil dari sekarang,” tegas dia saat itu.
Stephanie juga sering menemui kasus pungutan liar pembuatan KJP (Kartu Jakarta Pintar). Padahal pembuatan KJP itu gratis. Menghadapi pengaduan kasus seperti ini, ia pun menghubungi personel dinas terkait untuk menyelesaikan persoalan tersebut. (DDJP/bow/rul)