“Memelihara dan mengembangkan bahasa bukan sekadar urusan mengasah kecakapan mengekpresikan diri dan berkomunikasi, tetapi juga menumbuhkan daya imajinasi dan perluasan kognisi. Kalau zaman postmo dulu, saya mengagung-agungkan critical thinking, kini cukup awarreness,” ungkap Gatot memulai obrolan di warung Bang Jali di pinggir Kanal Banjir Timur (KBT), Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, malam Minggu.
“Tentu saja, sebagai makhluk di bumi pada era ini, saya juga menggunakan peranti digital dengan merek dan harga seadanya. Hanya saja, saya senantiasa memeringatkan diri sendiri untuk berwaspada. Karena medium ini mampu secara perlahan mengubah sistem neuron dalam diri manusia,” lanut Gatot.
“Misalnya apa?” tanya Rasidan.
“Memengaruhi sistem kerja otak kita,” jawab Gatot.
“Ada contoh lainnya?” imbuh Rasidan.
“Banjir bandang informasi seperti dikatakan oleh Umberto Eco, di mana orang bodoh punya hak sama untuk berkata-kata setara penerima anugerah Nobel, bukanlah soal lucu-lucuan-lucuan. Banyak orang berkilah: “Ah itu kan cuma lucu-lucuan. Gemoi-gemoian. Jangan kelewat serius,” jawab Gatot.
“Nah, menghadapi kenyataan seperti ini, bagamana kita seharusnya bersikap?” tanya Umarmaya.
“Dengan menguasai sumber daya yang luas, termasuk media sosial, kita melihat bagaimana penguasa merusak demokratisasi untuk mengingat. Memanfaatkan para influenser dan buzzer, mereka mengacak-acak memori manusia. Menimbun apa yang harus dilupakan dengan hal-hal yang tak penting. Mereka kacaukan memori dengan hal-hal yang tidak perlu. Yang remeh-temeh, kebohongan, disinformasi. Sehingga, cek sendiri. Sebagai contoh, seberapa banyak generasi masa kini tahu apa yang terjadi di negeri ini pada Mei 1998?” jawab Gatot.
“Terlebih peristiwa-peristiwa sejarah pada masa jauh sebelumnya, kita di ambang menjadi bangsa ahistoris,” Sidharta menimpali.
“Ya. Informasi kelewat mudah didapat pada zaman ini. Kita mendengar apa saja. Termasuk banyak hal yang sebetulnya kita tak perduli dan tak sudi tahu. Tak terkecuali yang disodorkan oleh jurnalisme yang beberapa, kalau tak boleh menyebut sebagan besar, sama tak keruannya. Mereka memproduksi trial issues,” kata Gatot.
“Lalu, di mana kejernihan bisa di dapat ?” tanya Sodikin.
“Pada pers berkualaitas atau di dasar samudra seperti dalam cerita Dewa Rucitat kala Bima mencari air suci?” Ibrahim menyela.
“Pertanyaannya bukan di mana, melainkan kejernihan. Kemurnian bahasa hanya bisa didapat melalui latihan.latihan menulis adalah proses terus-menerus dalam upaya mencapai kewajaran, berbahasa dengan wajar, dan hidup dengan wajar. Istilah semacam overthinking, healing, galau dan lain-lain adalah produk dari lingkungan hidup yang telah kehilangan kewajaran, Tentu, bakal ada yang menganggap pandai sebagai bentuk skeptis terhadap kemajuan zaman, bahwa sekarang terlebih nanti. Semuanya akan digantikan oleh artificial intelligence alias AI,” urai Gatot.
“Betul, Tapi saya masih percaya ada yang tidak bisa digantikan oleh AI,” Firman menyela.
“Contohnya?” Sodikin penasaran dan pengin tahu.
“Antara lain story telling. Struktur, bangunan cerita, vokabulari, dan hal-hal teknis mungkin bisa diborong AI, tapi rasa seperti empati, humanisme, cinta, saya duga tak bakal bisa diambil alih AI. Yang menginspirasi kita bukanlah Tuan Elon Mush yang banyak duit dan dielu-elukan presiden, tetapi Gabriel Garcia Marquez yang menulis Living to Tell the Tale,” tambah Gatot sambil mengulum senyum. (DDJP/stw)